14. Missing You

7 0 0
                                    

Gadis itu tampak tidak berselera untuk menyantap makanan di hadapannya. Bukan karena rasa atau tampilan dari menu itu yang tidak ia sukai, namun karena dirinya kini tengah memikirkan hal lain. Bahkan sendok perak yang sedari tadi ia pegang, tak berpindah tempat sama sekali.

"Kayaknya diluar hujannya deres."

Suara berat itu menyadarkan lamunan sang gadis, membawa dirinya untuk menoleh ke sumber suara. Pria tinggi dengan coat hitam memasuki private room sebuah restoran, rambutnya tampak basah. Sesekali ia menyeka air yang juga mengalir di wajah tampannya.

"Loh, kenapa ga dimakan? Ga suka sama menunya?"

Pria itu bertanya ketika menyadari makanan yang ada di meja masih utuh. Mengalihkan pandangan pada seorang gadis yang tengah duduk dihadapannya. Tangannya terulur mengambil sepasang sumpit di sudut meja, mengapitkannya pada satu roll salmon sushi yang tersaji diatas meja.

"Menurutku ini enak, kalau kamu ga suka, mau pesen menu lain aja?" Tawarnya.

Sea Jane -gadis itu, menggeleng pelan. Ia menarik sendok yang sedari tadi dipegangnya, mengambil sup yang letaknya tak jauh dari dirinya, menyuapkan beberapa sendok untuk membasahi kerongkongannya.

"Ga perlu, ini enak kok, aku suka."

Sea akhirnya bersuara. Benar, restoran ini adalah salah satu tempat favoritnya, tidak mungkin gadis itu tidak menyukainya. 

"Bagaimana kerjaan kamu akhir-akhir ini? Lancar kan?" Ia mengalihkan topik pembicaraan, tidak ingin pria dihadapannya terlalu membahas tentang dirinya.

"Baik. Kayak biasa aja." 

Jawaban yang cukup singkat, sebelum atmosfer ruangan itu kembali sunyi. Dua insan itu masih sibuk dengan makanan masing-masing. Sea dengan lambat berusaha mengunyah benda-benda itu, sedangkan pria di depannya -Sean, sibuk memakan sushi sambil sesekali mengetik sesuatu melalui iPad miliknya. Mungkin ada pekerjaan yang harus ia lakukan.

"Kalau ada sesuatu yang ganggu pikiran, kamu bisa cerita ke aku."

Mata Sean masih fokus pada layar iPad, namun sudah dapat dipastikan bahwa kalimat barusan ia tujukan untuk Sea, "bukannya dulu juga gitu?" Pria itu melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda.

Sea bergeming, pergerakan tangannya terhenti. Apa Sean tengah membahas masa lalu mereka? Memang benar jika dulu gadis itu selalu menceritakan apapun pada 'sahabatnya' ini, ia selalu bersemangat setiap kali akan bertemu Sean. Namun ia sadar, bahwa hanya dirinya saja yang bertindak demikian, Sean tidak. Bahkan gadis itu tidak tau apapun tentang Sean.

"Ga ada yang aku pikirin. Cuma...akhir-akhir ini emang lagi ga semangat aja."

Senyum terukir diwajah cantik Sea, begitu tipis dan terasa tidak tulus, itu hanyalah senyuman yang ia paksakan.

Mereka melanjutkan makan malam dalam diam, baik Sea maupun Sean tidak ada lagi yang membuka suara. Hanya dentingan sendok yang mengenai piring terdengar masuk gendang telinga.

Hingga tiba waktunya bagi mereka untuk pergi dari sana. Sean terlihat kembali memakai coat tebal miliknya, sementara Sea mengambil Hermes Evelyne yang bertengger di kursi sebelahnya. Kedua insan itu berdiri serempak.

"Aku anterin kamu pulang ya." Ucap Sean.

"Ga perlu, aku bisa pulang sendiri. Makasih udah luangin waktu buat ketemu."

Gadis itu berlalu, memacu langkahnya untuk segera pergi dari tempat itu. Nampaknya kini pertemuan mereka hanya sebatas formalitas saja. Sea juga merasa dirinya tidak ingin berlama-lama. Bagaimana ya perasaan manusia bisa berubah begitu nyata? Bak sesuatu yang instan, hati bisa begitu mudak dibolak-balikkan.

Sudah pukul 12 malam. Sea masih menyusuri jalanan yang sepi. Ia menolak ajakan Sean untuk diantar pulang karena memang dirinya ingin menikmati waktu sendiri. Ia selalu menunggu waktu seperti ini, keluar di malam hari agar tidak ada orang yang mengenali.

Ia mendudukkan dirinya diatas kursi, menatap sebuah billboard besar yang ada di seberang jalan sana. Sebuah iklan terpampang begitu jelas, brand milik Nam Jin dengan Ethan sebagai modelnya. Gadis itu terkesima, merasa bangga dengan apa yang ia saksikan depan mata.

"Kenapa kamu bisa keliatan kayak manusia ya?" Sea bergumam.

"Jadi, aku harus ngerasa sedih atau bangga, Ethan? Ngelihat kamu yang akhirnya punya kehidupan baru, tapi pergi ninggalin aku?"

"Aku rindu...."

***

Pukul 2 malam, gadis itu akhirnya tiba di apartemen miliknya. Sesaat setelah pintu lift terbuka, mata coklatnya mendapati siluet seorang pria tengah berdiri di depan pintu.

Ethan?

Gadis itu mendekat, semakin terlihat jelas bahwa pria yang ia rindukan kini berada dalam radarnya. Tak bisa dipungkiri, jantungnya kini berdetak lebih cepat, bak naik wahana menyeramkan yang ada di dufan.

"Baru pulang? Dari mana aja?" Suara berat yang sangat Sea rindukan itu bertanya.

Sea masih tidak menjawab, hingga pria itu mengajukan pertanyaan kedua, "Pergi sama siapa?"

Apakah Ethan khawatir?

Melihat hubungan mereka kini, tampaknya itu sesuatu yang mustahil. Dipikir-pikir lagi, keduanya memang tidak memiliki status yang pasti. Pantaskah untuk saling peduli? Ah, perasaan sadar diri ini lagi.

"Mau minum dulu di dalem?"

Tanpa menjawab serentetan pertanyaan dari lawan bicaranya, gadis itu malah mengajukan pertanyaan lain.

Sea masuk, disusul pria jangkung dibelakangnya. Ia meletakkan tas miliknya sembarangan dan berjalan menuju kulkas. Beberapa kaleng bir ia keluarkan, kemudian kembali beralan menuju ruang tamu. Ia mendapati sang pria telah duduk disana, di salah satu sisi sofa.

"Ga minum?" Gadis itu bertanya karena sang pria nampak tidak menyentuh sama sekali kaleng bir yang ia letakkan diatas meja. Sementara dirinya terus menerus menenggak minuman itu, seolah tanpa jeda.

Ethan -pria itu, hanya menggeleng pelan.

Sea mulai hilang kesadaran, sementara pria dihadapannya sama sekali tidak berkomentar. Ia sibuk memperhatikan gadis itu, dengan tatapannya yang cukup intens. Nampaknya Sea menolak untuk diajak bicara, ia malah membuat dirinya mabuk seperti sekarang.

Ethan mendekat, menuju kearah Sea yang kini tergeletak di sofa.

"Walau aku bukan manusia, aku tetaplah seorang pria."

"Kenapa kamu bisa seyakin itu kalau aku ga bakalan apa-apain kamu, hm?"

Pria itu menyeka rambut yang menutupi wajah Sea. Ia mengukir sebuah senyuman tulus. Tangannya ia biarkan untuk mengelus pipi gadis itu, terasa hangat. Wajahnya kemerahan karena mabuk, mata cantiknya dengan bulu mata lentik itu tertutup.

"Jadi, kamu gamau ngobrol sama aku ya?"

Tentu saja gadis itu tidak akan menjawab. Ia sudah berada di alam mimpi sekarang.

"Sea....aku rindu...."

Ucap pria itu lirih, bahkan suara detik jam terdengar lebih keras.

Masih ia tatap gadis dihadapannya, entah bagaimana bisa ia mengatakan hal itu jika lawan bicaranya sadar. Mata legam itu seperti mesin scanner, menatap wajah Sea dan mengamatinya lamat-lamat.

Pandangannya seolah mengabsen satu per satu pahatan indah di wajah Sea. Dari mulai matanya, hidungnya, hingga bibir ranum gadis itu. Sekali lagi, wajah yang sangat Ethan rindukan bisa ia lihat dari dekat.

Bukankah ini berarti sebenarnya mereka merindukan satu sama lain?

____________________________________________________

[ON GOING] ButterflyWhere stories live. Discover now