Satu: Aku Pulang

100 6 0
                                    

"Hitomi, besok akhirnya aku akan pulang!"

Di atas tempat tidurnya Hitomi berbaring, menatap langit-langit kamarnya yang temaram, yang hanya disinari lampu tidur di atas nakas di sebelah tempat tidurnya. Hitomi tersenyum kecil.

"Kau benar-benar akan menetap di sini 'kan?"

"Bukan menetap," gadis di ujung sambungan telepon lain berkata, "Aku tidak benar-benar pulang, tapi, paling tidak, sekitar tujuh bulan ke depan, kita akan lebih mudah bertemu."

"Jadi maksudmu, bertemu denganku tidak sama dengan pulang?" Hitomi merengut, lantas membawa tubuhnya ke samping. Ia kemudian menarik sebuah buku kecil dari dalam laci. Buku itu tak kelihatan mencolok. Hanya terlihat seperti buku harian biasa. Tangannya perlahan membalik halaman pertama.

Pertemuan pertama, begitu tulisan yang tertera di sana, lengkap dengan tanggal dan foto yang ia tempel dengan rapi. Sudah lima tahun, pikirnya. Jemarinya bergerak mengelus wajah mereka dalam foto. Dirinya, Chaewon, Yuri, dan Minju.

Yang terakhir, itu kekasihnya, yang berada di belahan bumi yang lain, yang tengah berbicara dengannya via telepon.

"Oh ayolah," gadis itu tertawa pelan, "Omong-omong, bukankah sudah saatnya kita—kau tahu, bertemu dengan orangtua masing-masing?"

Hitomi menghela napas. Hubungannya dua tahun terakhir dengan Minju tak diketahui banyak orang—bahkan tidak dengan ibunya. Chaewon dan Yuri tahu—dan ia tahu mungkin itu terdengar tak adil, namun di bulan pertama hubungannya dengan Minju dimulai, Minju sudah harus terbang meninggalkannya. Kekasihnya itu seorang arsitek, dan entah bagaimana, Hitomi lupa persisnya, gadis itu tiba-tiba saja harus pergi meninggalkannya menuju belahan bumi yang lain. Tak masalah. Sampai saat ini, mereka tetap bertahan—meski semua perjumpaan hanya via suara dan gambar di layar ponsel saja.

Namun, bukan hal itu yang membuatnya berusaha menyembunyikan hubungan mereka.

Ia hanya tinggal berdua saja dengan ibunya sejak usianya masih belia. Ia tahu, mungkin, ini bukan alasan yang bagus. Mungkin juga, alasannya terdengar konyol. Namun, ia merasa bahwa menjalani hubungan yang bahagia dengan seseorang saat ibunya kehilangan belahan jiwanya dan bertahan dalam kesendirian adalah bentuk ketidakadilan. Maka ia menunda.

Hingga saat ini, Hitomi tahu ada selaput tipis yang membatasi senyum ibunya—semua bertahan di bibir saja, tak sampai hingga ke mata. Dan oleh sebab ia tak ingin bahagia sendirian, maka di depan ibunya, ia bertingkah seolah-olah tak punya kekasih. Lagipula, ia tengah menjalani hubungan jarak jauh dengan Minju.

Namun hubungan mereka telah berjalan selama dua tahun, dan rasanya tak benar untuk terus menyembunyikan kenyataan itu dari ibunya. Lagipula, sudah beberapa bulan ini mereka membicarakan kelanjutan hubungan mereka; mau sampai kapan? Mereka tak ingin terus menerus berlindung di balik titel kekasih. 

Mereka ingin lebih dari itu. Dan untuk itu, mereka harus segera membeberkan hubungan mereka pada orangtua masing-masing.

"Kau benar," Hitomi tersenyum kecil, "Ayo bertemu Mama saat kau kemari."

***************

Hitomi benci bandara, dan itu tidak ada hubungannya dengan gadis yang ia tunggu kedatangannya saat ini.

Hanya saja, bandara mengingatkannya pada mendiang ayahnya. Terakhir kali ia melepas pria itu di sini, ia melepas pria itu untuk selama-lamanya. Ia berharap, ia kini menyambut kedatangan kekasihnya untuk pulang dan menetap di sini, bersamanya, selama yang mereka bisa.

Hitomi melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Harusnya lima menit lagi pesawat Minju mendarat. Tiba-tiba ponselnya berdering.

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang