Empat Belas: Ketidakmungkinan

31 8 1
                                    

Hitomi tersenyum kecil memandangi sang ibu yang bolak-balik di kamarnya dengan wajah gelisah. Tampaknya sang ibu sengaja membiarkan kamar mereka dalam keadaan temaram, menjadikan lampu meja di sebelah tempat tidur sebagai satu-satunya sumber cahaya yang menerangi ruangan ini.

"Mama gugup?"

Langkah sang ibu mendadak terhenti. Kedua lengan menyilang di depan dada, "Ya, Sayang? Kau bilang sesuatu?"

Hitomi tertawa kecil, lantas ia beringsut ke tepian tempat tidur, membiarkan kedua kakinya menjejak lantai. Ditatapnya wajah sang ibu lekat-lekat. Perlahan, sudut-sudut bibirnya melengkung ke atas, "Mama gugup?"

Perempuan itu menghela napas, "Mama terlihat seperti anak remaja, bukan begitu?"

Hitomi menggeleng pelan. Ia lantas beranjak dari duduknya, perlahan bergerak mendekati Keiko, "Besok adalah hari besar Mama. Wajar jika Mama gugup," jemarinya meraih tangan sang ibu, "Dan tidak, Mama tidak terlihat seperti anak remaja."

"Sejujurnya, Mama jauh lebih gugup ketika akan memasuki ruang bersalin," sang ibu mendesah, bergerak menyatukan genggaman mereka, "Kau tahu, kau terlalu betah meringkuk dalam perut Mama."

"Anggap saja itu adalah bentuk kasih sayangku pada Mama. Aku ingin selalu dekat dengan Mama."

"Sayang," sang ibu menarik Hitomi untuk duduk berdampingan di tepi tempat tidur, "Kau benar-benar tidak apa-apa?" Hitomi bisa melihat sekelebat ragu membayang di kedua mata Keiko, "Kau benar-benar tidak masalah?"

Meski heran dengan pertanyaan sang ibu dan sikap gelisahnya, Hitomi berusaha keras agar wajahnya tak menunjukkan raut heran, "Mama, jika aku tak suka, aku tentu sudah mengatakannya pada Mama beberapa bulan lalu. Aku senang Mama menemukan kebahagiaan Mama."

"Kau adalah kebahagiaan terbesar Mama," Hitomi memejam saat jemari sang ibu membelai halus wajahnya, "Kau selalu menjadi kebahagiaan terbesar Mama, Hitomi," bisik perempuan itu pelan.

Dadanya berdesir, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat—entah karena esok ia takkan lagi bersama Minju, atau karena sang ibu akhirnya bisa bersanding dengan pria yang ia cintai, Hitomi tak tahu. Namun, ia tahu, jika ia membuka matanya saat ini, air matanya akan mengalir saat itu juga—Hitomi tak ingin mengacaukan hari bahagia Keiko.

Meski itu berarti ia harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Biar saja begini. Dibanding siapa pun, dibanding apa pun, ia tahu bahwa Keiko lah manusia yang paling berhak dibahagiakan olehnya.

Jika membahagiakan sang ibu berarti ia harus mematahkan hatinya sendiri, ia rela.

"Mama," ujarnya dengan suara bergetar, "Aku selalu ingin Mama bahagia," bisiknya. Tangannya bergerak menangkup tangan sang ibu di pipinya, "Mama menghabiskan hampir seluruh hidup Mama untuk membesarkanku sendirian. Mama hampir tak punya waktu untuk diri Mama sendiri. Sekarang," ia menelan ludah, tak yakin apakah ia sanggup mengatakannya sendiri, "Sekarang, Mama—" kata-kata mendadak menjadi setajam duri, menusuk tenggorokannya, menahan suaranya agar tak terdengar siapa pun, "Sekarang waktunya Mama memikirkan diri Mama sendiri.

"Ini waktunya Mama bahagia."

Peluk hangat sang ibu yang menyelimutinya saat ini barangkali tak mampu mengusir seluruh gelisah dan rasa bersalah yang bersalah dalam dadanya. Namun, satu yang Hitomi tahu pasti; cinta akan selalu beriringan dengan rasa sakit.

Ia mencintai Minju, itu pasti, tetapi ia juga mencintai sang ibu. Perihal hatinya yang luluh lantak, biarlah itu menjadi urusannya saja. Perihal Minju yang barangkali akan membencinya nanti, ia siap menanggung rasa sakit itu. Perihal ia yang barangkali takkan mampu membuka hati lagi, ia tak peduli.

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang