"Hitomi..."
"Paman dan Bibi sudah pergi. Ya. Ya. Tidak, mereka pergi bersama Jungwoo. Papa, bagaimana—"
"Hitomi..."
Hitomi mengernyit. Ia bisa merasakan seseorang menepuk pipinya pelan. Ia juga bisa merasakan jemarinya ditekan—refleks ia menariknya pelan. Tepukan di pipinya berhenti, "Hitomi? Kau sudah sadar?"
Perlahan, ia mendorong tubuhnya bangkit. Ia bisa merasakan seseorang tiba-tiba berjongkok di sebelahnya, dengan lengan yang membantunya duduk, "Pelan-pelan," Hyewon, pikirnya. Hitomi mengernyit, lantas mengedarkan pandangannya.
Beberapa mobil masih terparkir di tempatnya, tetapi ia jelas tak melihat kedua orangtuanya, juga Jungwoo, yang seharusnya pergi mengantar mereka. Matahari dengan malu-malu bersembunyi di balik awan, membiarkan berkas sinarnya menyelinap melalui celah-celah mega —beberapa orang berlalu lalang di depan mereka sambil menyeret koper, diam-diam melempar tatapan heran pada Hitomi dan rombongan kecilnya.
"Ini," suara Hyewon terdengar pelan, "Kau butuh minum. Maaf aku tidak mencarikan sesuatu yang manis—agak sulit," ujarnya sambil menunjuk botol air dengan dagunya. Sigap Hitomi menerima uluran botol dari Hyewon. Air membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Ia melirik arloji di tangannya. Terkutuklah perbedaan zona waktu. Di sisi kanannya, Chaewon masih berdiri dengan ponsel menempel di telinga. Gadis itu terlihat sedikit gusar.
"Pukul dua," ujar Hyewon tanpa Hitomi bertanya. Hitomi mengerjap, "Sekarang pukul dua. Kau terlihat seperti orang yang hendak mengecek waktu."
"Berapa lama aku pingsan?" tanyanya pelan. Kepalanya terasa sedikit berat. Yang ia ingat hanyalah teriakan Nako dan lengan Chaewon yang melingkari tubuhnya sebelum segala sesuatunya menggelap.
"Sepuluh... menit?" jawab Nako tak yakin, "Chaewon sudah seperti orang gila, dia berusaha menelepon ambulans saat tubuhmu tiba-tiba merosot," gadis itu menjelaskan singkat, "Dan sebelum kau bertanya, Paman dan Bibi sudah kuminta untuk pergi menuju rumah sakit. Mereka harus ada di sana. Dan Jungwoo—"
"Jungwoo yang ada bersama Minju saat semuanya terjadi," tukas Hyewon cepat, "Kupikir akan lebih baik jika Jungwoo yang mengantar mereka sambil menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."
Mendadak ada sesuatu yang mengimpit dadanya. Ia masih mengingat dengan jelas kata-kata Jungwoo tadi. Minju terjatuh dari tingkat tiga sebuah gedung yang sedang dibangun. Kondisinya parah. Ia tak sadarkan diri hingga hari ini. Jika perpisahannya dengan Minju mampu menghentikan dunianya, maka kabar mengenai kecelakaan yang terjadi pada Minju jelas menghancurkan dunianya.
Minju pernah menjadi pusat dunianya. Minju adalah seseorang yang ia harap mampu berbagi hari dengannya. Saat pertama kali ia memutuskan untuk mengakhiri segala sesuatu yang terjadi di antara dirinya dan Minju, ia tahu bahwa keputusannya akan menghancurkan dirinya sendiri. Meskipun sulit, ia yakin itu adalah keputusan terbaik.
Namun, ia tak menyangka bahwa Semesta memutuskan untuk menghancurkan remah-remah kebahagiaannya yang tersisa, yang hanya bisa ia temui di wajah Minju yang kini ikut melebur—seiring dengan dunianya yang juga runtuh kala kabar mengenai kecelakaan itu sampai di telinganya.
"Syukurlah kau sudah sadar," Chaewon tiba-tiba berjongkok di depannya. Hitomi seakan baru menyadari bahwa mereka membaringkan tubuhnya di tepian jalan, di tempat parkir, "Paman dan Bibi meneleponku barusan. Jalanan macet. Tampaknya ada kecelakaan lalu lintas dan proyek pembangunan jalan. Paling cepat, Paman dan Bibi baru bisa sampai di rumah sakit pukul empat."
"Jam besuk rumah sakit berakhir pukul 4.30," tambah Hyewon, "Kupikir sebaiknya kalian mencari penginapan saja. Sepertinya percuma jika kita ke rumah sakit—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya
FanfictionBagi Hitomi, Minju adalah belahan jiwa. Soulmate. Seseorang yang mengerti tanpa perlu ia bicara. Seseorang yang memahami tanpa perlu ia berkata. Dan Hitomi tak ingin melepas. Seandainya bisa, Hitomi tak ingin melepas. Bagi Minju, Hitomi adalah semua...