"Minju? Kau kah itu?"
Minju mempercepat langkahnya, tak memedulikan koper yang berdiri menghalangi pintu, "Papa!" gadis itu menghambur ke dalam pelukan sang ayah. Ia memejam, membiarkan wangi tembakau memenuhi indera penciumannya, "Aku merindukanmu, Papa."
Tangan besar ayahnya bergerak mengelus rambutnya pelan, "Rumah terasa sepi tanpamu, Sayang," ayahnya bergumam, lalu perlahan menarik diri, "Sudah makan? Papa mendengar suara mobil tadi—juga suara sepupu kesayanganmu itu. Chaewon mengantarmu?"
"Mm-hmm," Minju tersenyum kecil, lalu bergegas membereskan kopernya, "Papa sudah makan?"
"Aku yakin kau belum," tepat saat pria itu mengakhiri ucapannya, perut Minju berbunyi, "Perjalanan panjang membuatmu lapar?"
"Perjalanan panjang membuatku mengantuk, Pa," Minju tersenyum, "Haruskah kita memesan sesuatu?"
"Ya," pria itu kemudian bergerak melipat koran yang ia hempaskan tadi, tepat ketika putri semata wayangnya menghambur dalam pelukannya, "Kau tahu benar Papa tidak bisa memasak."
"Aku juga," Minju tertawa, "Baiklah, Papa mau pesan sesuatu? Biar aku yang bayar," gadis itu kini menggenggam ponsel di tangan, koper dirapatkan pada dinding. Ia bergerak duduk di sofa yang berhadapan dengan ayahnya.
"Ah, putri Papa sudah besar," gumam pria itu sambil menyandarkan punggung, "Berapa lama kau di sini?"
"Mungkin tujuh bulan, sampai projek pembangunan hotel itu selesai," ujar Minju, "Kenapa Pa?"
"Kau akan tinggal di sini 'kan?" ayahnya menatap hati-hati. Minju tersenyum kecil.
"Tentu. Lagipula, lokasi proyek tidak jauh dari sini. Aku boleh pinjam mobil Papa 'kan? Atau mungkin, aku bisa meminta Chaewon untuk mengantarku. Dia takkan keberatan. Proyek ini adalah proyek gabungan perusahaan tempat kami bekerja."
"Pakai saja, Nak, Papa tak masalah," ujar pria itu pelan, "Lagipula, Papamu ini pensiunan. Mau pergi ke mana?"
"Pensiunan bergelimang harta," Minju mendengus geli. Ia merenggangkan tubuh, lalu berkata, "Papa tidak keberatan kalau aku—Papa tahu, beristirahat sebentar? Aku perlu mandi. Nanti jika pesanan kita datang—"
"Naiklah," pria itu mengibaskan tangan, mengisyaratkan Minju untuk segera beristirahat, "Biar Papa yang siapkan semuanya. Lagipula, ada yang ingin Papa bicarakan denganmu," tambahnya. Sebelah alis Minju terangkat, namun tak ada kata yang terucap. Gadis itu kemudian bangkit, mengecup pipi ayahnya sekilas sebelum menyeret kopernya menuju kamarnya di lantai dua. Ia menghela napas.
Barangkali aku kelewat lelah.
**************
"Sayang, kau ada rencana bertemu dengan teman-temanmu akhir pekan nanti?"
Minju mendongak, mengalihkan pandangannya sejenak dari piringnya, "Maksud Papa, Chaewon, Yuri dan Hitomi?" dilihatnya ayahnya mengangguk, lantas Minju berujar, "Sepertinya tidak, atau belum. Chaewon sedang sedikit sibuk, Yuri juga. Hitomi—ya, dia juga sibuk," ada keraguan dalam nada suaranya, namun sebisa mungkin, ia tak menunjukkannya, "Lagipula, besok aku harus berkunjung ke lokasi. Minggu ini aku agak sibuk," jelasnya. Kembali dilihatnya ayahnya mengangguk.
"Kalian masih sering berhubungan bukan? Maksud Papa—ya, kau dan Chaewon adalah sepupu, bagaimana dengan Yuri dan Hitomi?"
Minju mengangguk-angguk. Tangan kanannya sibuk memutar garpu, menggulung pasta, "Mm-hmm, kami punya obrolan grup, dan grup itu lumayan aktif. Kami masih tetap berkomunikasi, bercanda, sesekali melakukan panggilan video bersama—ya, hal-hal yang lazim dilakukan teman," ujarnya sambil menyuap, "Kenapa Pa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya
FanfictionBagi Hitomi, Minju adalah belahan jiwa. Soulmate. Seseorang yang mengerti tanpa perlu ia bicara. Seseorang yang memahami tanpa perlu ia berkata. Dan Hitomi tak ingin melepas. Seandainya bisa, Hitomi tak ingin melepas. Bagi Minju, Hitomi adalah semua...