Tujuh Belas: Luruh, Runtuh

27 5 1
                                    

"Bahkan setelah kami menikah, sepertinya aku jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk berkumpul dengan kalian berdua."

Dari seberang meja, Hitomi bisa mendengar tawa kaku Sakura yang terdengar seperti cicitan tikus yang tergencet pintu. Di sebelah gadis itu Nako terduduk—kedua tangannya sibuk mengetikkan sesuatu pada ponsel.

"Agak sulit memang untuk bertemu dengan Nako si paling sibuk," cibir Hitomi. Ia mati-matian menahan tawanya saat dilihatnya Nako melempar tatapan tajam ke arahnya, "Tidak ada acara minum-minum bersama klubmu hari ini, Sepupu Sayang?"

Kubunuh-kau-nanti, ucap Nako tanpa suara. Hitomi terkekeh, lantas kembali melanjutkan santap malamnya. Ia sejujurnya tak terlalu berselera hari ini—bahkan kue keju buatan sang ibu pun tak mampu menerbitkan air liurnya malam ini. Namun, demi menghargai sang ibu yang terlihat begitu antusias melihat dua keponakannya berada di rumah sejak sore, ia berusaha menelan bongkahan-bongkahan kue itu.

Sakura, seperti biasa, memang tak banyak bicara. Sesekali gadis itu akan menimpali obrolan Hitomi dan ibunya. Sesekali gadis itu juga menanggapi candaan Donghyun dengan santai. Hitomi tahu benar gadis itu sesungguhnya sedang tak ingin bertemu siapa-siapa. Hubungan jarak jauhnya dengan sang kekasih tampaknya lagi-lagi menemui tebing terjal. Sejak beberapa pekan lalu, gadis itu terlihat uring-uringan di kamar.

Yah, paling tidak, ia harus bersyukur dengan fakta bahwa ia masih bisa berhubungan dengan kekasihnya itu, pikir Hitomi. Hubungan Sakura bukanlah rahasia—semua orang tahu gadis itu berkencan, semua orang tahu siapa orang yang berhasil menawan hati Sakura, dan semua orang tahu bahwa Sakura rela melakukan banyak hal untuk kekasihnya itu.

Mencintai dalam terang rupanya menjadi anugerah yang seringkali dianggap lumrah oleh sebagian orang.

Hitomi sudah ingin beranjak dari duduknya sedari tadi. Ia ingin segera naik ke kamarnya, membiarkan punggungnya mencium tempat tidur, lalu memasrahkan diri pada malam. Hari ini rasanya lelah sekali. Hitomi tak yakin apakah hari ini adalah hari istimewa, tetapi sejak pagi, toko bunga mereka ramai dikunjungi pembeli. Dari mereka yang membeli setangkai mawar hingga mereka yang membeli sebuket bunga lili.

"Kau terlihat kurang sehat, Hitomi."

Hitomi mendongak, menyadari bahwa sedari tadi ia menyendok piring kosong. Sang ayah menatapnya dengan pandangan khawatir. Hitomi tersenyum kecil—berusaha menyembunyikan kantuk yang mulai menyergap, tetapi gagal total, sebab detik pertama ia membuka mulut untuk menanggapi pernyataan sang ayah, gadis itu menguap.

"Maaf," ujarnya buru-buru, "Tapi hari ini toko ramai sekali."

"Hitomi benar," sang ibu beranjak dari duduknya, menarik piring-piring yang telah licin, "Aneh sekali. Toko ramai sekali hari ini. Bahkan ada seorang anak sekolah yang membeli tulip. Aneh. Padahal di usia mereka, biasanya mereka hanya akan membeli setangkai mawar."

Hitomi tak begitu menyimak percakapan antara sang ibu dan kedua sepupunya yang meributkan soal kenapa tulip lebih cantik dari mawar—ia tak begitu peduli. Diam-diam, ditariknya ponsel ke bawah meja, lalu dibukanya aplikasi berkirim pesan. Ia sudah akan mengirimi Chaewon pesan, berharap gadis itu bisa menghiburnya dengan satu dua lelucon garing saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Kedua alisnya terangkat saat melihat nama si penelepon. Buru-burunya digeser tombol hijau.

"Halo?"

"Um, siapa di sana?"

Hitomi mengerjap. Ia buru-buru menjauhkan ponselnya dari telinga, sekali lagi memastikan nama yang tertera pada layar ponselnya. Siapa yang memegang ponselnya sekarang?

"Uh, bukankah harusnya itu pertanyaanku?" Hitomi mengangkat tangannya yang bebas, mengisyaratkan sang ibu untuk menunggu sejenak saat perempuan itu memandangnya dengan sebelah alis terangkat, seolah bertanya, siapa?

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang