"Hitomi, kau kah itu?"
Nako mendongak. Tangan kanannya menjinjing sepatunya yang terkena noda lumpur. Padahal, tadi pagi ramalan cuaca berkata bahwa hari ini akan cukup cerah. Nyatanya, saat kelasnya selesai, awan kelabu berarak di langit. Tak ada payung dalam tasnya. Untungnya, ia masih bisa berteduh di depan sebuah minimarket.
"Ini aku, Bibi," sahutnya. Dari dapur, Keiko menoleh. Celemek terlilit rapi di pinggangnya. Nako bisa menebak bahwa perempuan itu tengah memasak makan malam. Ini sudah pukul tujuh. Wajar jika perempuan itu tengah memasak makan malam.
"Ah," perempuan itu bergumam pelan, "Kau belum makan malam, bukan?" tangan perempuan itu sibuk mengaduk sup dalam panci. Tepat ketika perempuan itu berkata demikian, perutnya berbunyi. Keduanya terkekeh. Nako mengangguk.
"Bibi tidak keberatan jika aku bersih-bersih dulu?" Nako menunjuk kemejanya yang ternoda lumpur, "Aku sempat kehujanan tadi."
Sang bibi mengangguk, "Kau tahu pukul berapa Sakura akan pulang?" perempuan itu bertanya sambil mematikan kompor. Dilepasnya celemek yang melingkari pinggangnya, "Atau Sakura lagi-lagi harus lembur?"
Nako mengerucutkan bibir. Seingatnya, tadi pagi Sakura berkata bahwa ia akan pulang sebelum makan malam. Namun, kadang-kadang Sakura memang begitu; berdiam diri di kantor hingga larut untuk menyelesaikan pekerjaannya. Entah karena gadis itu kelewat rajin atau memang pekerjaannya sebanyak itu, Nako tak yakin benar.
"Sepertinya begitu," jawabnya pelan, "Aku akan segera kembali Bibi. Jangan makan malam tanpa aku!" ia bisa mendengar perempuan itu terkekeh saat ia terburu-buru meniti tangga menuju kamarnya. Sebelum membuka pintu kamarnya, ia sempat melirik pintu kamar Hitomi yang tertutup. Ia menghela napas.
Hatinya patah saat pertama kali mengetahui bahwa Hitomi dan Minju akan menjadi saudari tiri. Tak ada yang tahu seberapa terkejutnya Nako saat siang itu, ia membukakan pintu untuk Minju dan ayahnya—orang yang bibinya sebut-sebut sebagai calon suaminya. Ia sempat mematung seperti orang bodoh sebelum Hitomi menyeretnya menjauh, membiarkan Donghyun dan Minju masuk.
Hari itu, ia bisa melihat perbedaan besar antara Hitomi dan Minju dalam menyikapi pernikahan kedua orangtuanya—Hitomi terlihat begitu tenang. Gadis itu malah nampak bahagia. Sebaliknya, Nako seakan bisa melihat mendung yang bergantung di atas kepala Minju; gadis itu terlihat murung. Meskipun gadis itu tetap tersenyum dan berusaha terlibat dalam setiap percakapan, mata gadis itu tak ikut tersenyum. Bahkan, beberapa kali Nako mendapati gadis itu melamun.
Barulah ketika Nako meneror Hitomi dengan pertanyaan-pertanyaan soal kenapa Minju ada di sini sebagai calon saudari tirinya, gadis itu menjelaskan semuanya. Nako pikir, perasaan Hitomi pada Minju tak sebegitu besar—gadis itu terlihat terlalu baik-baik saja untuk seseorang yang harusnya patah hati. Nako sempat ragu bahwa Hitomi benar-benar mencintai gadis itu. Nako tentu pernah mendengar tentang Hitomi dan kekasihnya, dan dari cerita Hitomi, harusnya Hitomi tak bersikap sesantai ini. Ia bahkan sempat berpikir bahwa Hitomi sudah menemukan tambatan hati lain.
Namun, Nako salah besar.
Malam itu, saat sang bibi sedang tak di rumah, Nako dan Sakura menyaksikan sepupu mereka menumpahkan perasaannya yang tersembunyi. Dalam pelukan Sakura, gadis itu menangis tersedu-sedu, menceritakan dilema yang ia rasakan. Nako masih ingat bagaimana rapuhnya Hitomi malam itu. Maka, sejak saat itu, Nako dan Sakura selalu berhati-hati jika membicarakan Minju, atau pun pernikahan sang bibi.
Nako buru-buru turun setelah membersihkan dirinya. Sang bibi telah duduk menunggunya, dengan lauk pauk terhidang di atas meja. Nako buru-buru menarik kursi di depan sang bibi, "Bibi lama menunggu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seandainya
FanfictionBagi Hitomi, Minju adalah belahan jiwa. Soulmate. Seseorang yang mengerti tanpa perlu ia bicara. Seseorang yang memahami tanpa perlu ia berkata. Dan Hitomi tak ingin melepas. Seandainya bisa, Hitomi tak ingin melepas. Bagi Minju, Hitomi adalah semua...