Tujuh: Ini Bukan Negeri Dongeng

39 6 0
                                    

Kita harus bicara.

Minju mendesah menatap sebaris pesan yang dikirimkan Chaewon dua hari lalu, tepat setelah Hitomi mengungkap fakta bahwa dirinya akan segera menjadi kakak tiri gadis itu. Makan siang mereka yang biasanya penuh tawa dan ejekan sana-sini berubah menjadi pertemuan bisu. Minju menjadi yang paling pertama meninggalkan restoran. Setelah basa-basi bahwa ia akan mentraktir Chaewon lain kali, ia kemudian bergegas pergi. Sepertinya Chaewon juga mengantarkan Hitomi kembali ke toko setelah mengantar Yuri ke studio—gadis itu paling tidak tega membiarkan Yuri atau Hitomi pulang naik kendaraan umum, yang sayangnya, tak pernah ia lakukan pada semua mantan pacarnya.

"Kim Minju," Minju mendongak. Seorang laki-laki dengan lengan kemeja digulung hingga siku datang menghampirinya. Sama seperti dirinya, raut wajah laki-laki itu juga kusut. Dasinya longgar, dan mengingat jarum jam sudah bergerak menuju angka tiga, ia yakin laki-laki di depannya baru saja mengalami masalah dengan klien mereka kali ini.

"Guanlin," sapanya pelan, memaksakan diri mengulas senyum tipis di wajah, "Kali ini ada komplain apa lagi?"

"Seperti biasa," laki-laki itu menjatuhkan diri di kursi di depan Minju, kedua lengan rebah di sandaran lengan, "Yang cantik belum tentu bagus, yang bagus belum tentu bisa berfungsi dengan baik, yang bisa berfungsi dengan baik belum tentu cantik," laki-laki itu memijat pelipisnya dengan dahi berkerut, "Aku paham kalau mereka menginginkan yang terbaik, tapi tidakkah kau pikir mereka terlalu rewel?"

Minju diam-diam setuju, namun rasanya tak etis untuk membicarakan hal-hal buruk mengenai klien mereka. Ia akhirnya berkata, "Yah, mereka juga punya tanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik. Semakin besar nama mereka, semakin tinggi ekspektasi konsumen bukan?" Minju meraih gelas kopi di meja, menyeruputnya pelan sebelum kembali berkata, "Projek ini memang projek besar—dan seharusnya, kita juga paham bahwa hal-hal seperti ini takkan terelakkan."

"Kau benar," laki-laki itu mendesah, "Omong-omong," matanya melirik arloji yang melingkar di lengan kirinya, "Kau sudah makan siang?"

Tepat saat pria itu menyelesaikan kalimatnya, perut Minju berbunyi. Pandangan mereka berserobok. Meski Minju bisa merasakan wajahnya memanas, mau tak mau ia ikut tertawa.

"Baiklah," Guanlin menarik ponsel dari saku celananya, "Kita makan di sini saja? Mau kupesankan sesuatu?"

"Minju akan makan siang denganku," Chaewon tiba-tiba muncul dari balik pintu, "Ayo, Minju."

Minju hendak menolak, namun urung saat melihat tatapan Chaewon padanya. Sejak kecil, Chaewon selalu jadi yang terdepan dalam melindunginya. Gadis itu selalu berubah menjadi manusia paling galak jika ada yang mengganggu Minju. Mulutnya yang biasanya selalu menyunggingkan senyum secerah matahari di musim panas berubah menjadi sedingin embusan angin musim gugur. Suaranya yang semerdu burung bulbul berubah setajam pedang, tak jarang menusuk. Ia juga tak segan-segan melayangkan tinjunya.

Maka pada saat pandangan mereka bertemu, Minju tahu bahwa menolak Chaewon kali ini bukanlah pilihan yang tepat. Ia tersenyum sekilas pada Guanlin yang menatapnya bingung, "Aku ada janji dengan Chaewon, maaf. Mungkin lain kali," Minju menarik blazer yang tersampir di kursi, "Sampai nanti!"

Ia berusaha berjalan secepat mungkin, mengimbangi langkah besar Chaewon. Ia mendesah.

Aku takkan pernah siap untuk pergi.

****************

"Aku sungguh-sungguh saat bilang akan mengajakmu makan siang. Kau bukan anak lima tahun, berhenti mengaduk-aduk isi piringmu begitu. Kau perempuan dewasa. Untuk bekerja, kau harus sehat. Makan."

Gerakan tangannya terhenti. Saat ia mendongak, pandangannya beradu dengan Chaewon yang balas menatapnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. Minju menghela napas. Chaewon tidak pernah mengomelinya. Seumur hidupnya mengenal gadis itu, Chaewon tak pernah bersikap kasar padanya. Kalau pun gadis itu kesal padanya (karena kadang-kadang, Minju bisa jadi seseorang yang sangat lamban), Chaewon selalu menjaga nada suaranya agar tetap terdengar riang, dan omelannya terdengar seperti candaan sambil lalu.

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang