Tiga: Rencana Temu

47 6 0
                                    

Selain hari ketika gajinya turun, hari Jumat adalah hari favorit Minju.

Setelah seminggu penuh ia berjibaku dengan carut marut pekerjaannya, ia bisa merebahkan punggung di atas tempat tidur tanpa mengkhawatirkan hari esok—Sabtu adalah hari sakralnya. Tak boleh ada telepon mengenai pekerjaan, tak boleh ada meeting mendadak.

Ponselnya mendadak berdering saat ia baru saja melempar benda kecil itu ke arah tempat tidur. Ia mengerutkan dahi, namun mendadak tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Ia menggeser tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel ke telinga, "Hai, Sayang."

"Hai, sudah pulang?"

Minju merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, "Mm," ia bergumam, membiarkan lelah menyergapnya, "Baru saja. Kau?"

"Toko bunga milik Mama selalu tutup pukul empat, tidak mungkin aku belum di rumah pukul delapan, Minju."

Minju terkekeh, perlahan melepaskan kaos kakinya, "Benar juga," asal ia melempar kaos kakinya—entah masuk ke keranjang cucian kotor atau tidak, ia tak begitu peduli, "Biar kutebak—kau juga sudah makan malam, bukan?" sadar bahwa ia masih mengenakan mantelnya, Minju bangkit, lalu duduk di tepi tempat tidur. Perlahan dilepasnya mantel, dilipatnya sembarang, lalu diletakkannya di atas kursi di depan meja kerjanya.

"Menurutmu? Mama tak tahan jika belum melihatku makan malam," gadis itu tertawa. Tawanya selalu menular. Dan tiap kali gadis itu tertawa, ada hangat yang menjalar, merambat di hati Minju, seperti sulur yang mengikat, namun ia rela terikat jika pada gadis itu.

Semua perasaan yang menyenangkan membanjirinya kapanpun gadis itu tertawa.

"Benar juga," ujarnya, "Mungkin sebentar lagi makananku sampai. Sebelum kau protes—kau tahu benar pacarmu ini payah sekali soal memasak. Daripada menyiksa diriku sendiri, lebih baik aku pesan sesuatu," tambahnya lagi. Di ujung sambungan telepon, Hitomi lagi-lagi tertawa.

"Siapa yang mau protes? Lagipula, lebih baik begitu. Ingat saat terakhir kali kau berusaha memasak? Tiga hari kau diare."

Minju mengerang, "Kenapa kau senang sekali mengingatkanku pada peristiwa memalukan?" ujarnya dengan nada kesal, namun sudut-sudut bibirnya melengkung ke atas.

"Sayang?"

"Hmm?" Minju bergerak menyandarkan punggung pada kepala tempat tidur, "Ya, Sayang?"

"Kalau kita serumah nanti, kau tidak perlu memesan makanan lagi."

Minju menghela napas—ah, khayalan soal masa depan bersama Hitomi selalu membuat hatinya berdebar. Membayangkan membangun sebuah rumah bersama gadis itu terdengar menyenangkan. Menghabiskan seumur hidup bersama dengannya tidak buruk—tidak, menghabiskan waktu seumur hidup dengan gadis itu takkan pernah buruk. Bahkan, mungkin, itu adalah hal terbaik yang terjadi di hidupnya.

"Mm-hmm," gumamnya pelan, masih dengan senyum tersungging di bibir, "Aku tidak sabar menunggu hingga hari itu tiba."

"Jadi, besok kita bertemu Mama?"

Minju mengangguk. Sadar kekasihnya tak bisa melihatnya, ia berkata, "Mm-hmm. Besok kita temui ibumu, lalu besoknya, kita temui Papa."

Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk memikirkan kelanjutan hubungan mereka. Ini bukan soal usia—bagi keduanya, usia hanyalah angka, dan mereka tak ingin mengukur hubungan mereka dengan angka. Ini juga bukan masalah desakan lingkungan—bagi keduanya, hubungan mereka adalah tentang mereka, tak peduli apa kata orang.

Ini soal hati dan keinginan untuk terus bersama selama yang mereka mampu.

Dengan segala jarak dan kemungkinan yang ada, sulit bagi mereka untuk tak memikirkan kemungkinan terburuk mengenai hubungan mereka. Sebab mereka tak ingin ada kata pisah yang hadir menyeruak, mereka siap—atau menyiapkan diri untuk melangkah menuju jenjang yang lebih serius. Hitomi tahu, mungkin, ibunya akan sedikit kesepian, apalagi jika gadis itu tinggal bersama Minju. Hal itu jugalah yang sempat merisaukan mereka berdua, menjadi bahan pertimbangan berbulan-bulan lamanya.

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang