Dua Puluh Satu: Dia

22 5 0
                                    

"Dia... dia berhenti menunggu?"

Hitomi bisa melihat keengganan di kedua mata Jungwoo. Laki-laki itu sama sekali tak bergerak. Bibirnya terkatup rapat. Bau tanah basah yang dibawa angin mendadak tak lagi menenangkan—bau tanah basah itu mengingatkannya pada tanah merah yang baru saja digali—

"Kalau begitu aku tak ingin bertemu dengannya."

Keterkejutan jelas tergambar di wajah Jungwoo. Di sebelahnya, Chaewon meremas pundaknya pelan, "Kenapa?" laki-laki itu berkata. Hitomi menggeleng, pandangannya terarah pada ujung-ujung sepatunya yang ternodai tanah.

"Aku—" apa pun yang hendak ia katakan mesti ia telan bulat-bulat, sebab saat itu juga, ponsel Chaewon berdering nyaring. Gadis itu buru-buru menarik ponselnya dari saku.

"Halo, Papa?"

Dari samping, Hitomi bisa melihat wajah Chaewon yang menegang. Kedua alisnya bertatut—sesuatu yang takkan pernah Hitomi asosiasikan dengan Chaewon. Chaewon selalu tertawa. Chaewon selalu melempar lelucon-lelucon yang seringnya tak lucu. Chaewon selalu menggoda dirinya, Yuri, dan Minju. Manusia di sampingnya ini selalu terlihat tegang setiap waktu. Terlihat kaku setiap waktu.

Kim Minju, lihat apa yang kauperbuat pada kami?

"Ya. Ya. Baiklah. Ya," gadis itu tak banyak bicara. Setelah sambungan telepon terputus, ia mengembuskan napas panjang—seolah seseorang baru saja meletakkan bumi di pundaknya. Dengan cemas, Hitomi bertanya, "Ada apa? Itu Paman? Paman bilang apa?"

Chaewon menoleh, bergantian menatap Jungwoo dan Hitomi, "Papa bilang, Papa, Mama, Paman, Bibi, juga Nako dan Sakura akan berangkat menuju hotel. Tak ada yang bisa kita lakukan di sini, jadi lebih baik kita semua beristirahat," jelasnya. Ia lalu menoleh ke arah Jungwoo, "Jungwoo, Papa—"

"Aku mengerti," ujarnya. Laki-laki itu kemudian bangkit. Ditariknya ujung-ujung lengan bajunya pelan, lalu kembali ia melempar pandangan ke arah Hitomi, "Hyewon yang akan mengantar kalian, bukan?"

"Ya," bagai muncul dari udara kosong, Hyewon tiba-tiba telah berdiri di depan mereka. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Hitomi, "Aku akan mengantar kalian. Alexander Hotel, benar?" Hitomi menoleh ke arah Chaewon. Ia tak tahu apa-apa. Ia kemari dalam keadaan linglung, membiarkan tubuhnya digiring oleh kedua sepupunya dan Chaewon, hanya untuk ditampar kenyataan bahwa Minju tak sadarkan diri, berjuang menunggu kedatangan mereka.

Chaewon mengangguk, lantas menarik Hitomi bangkit. Ia tak protes. Tepat sebelum Jungwoo pergi, laki-laki itu tiba-tiba berbalik, mengangsurkan sesuatu pada Hitomi. Hitomi bolak-balik menatap wajah laki-laki itu dan benda mungil di tangannya. Jungwoo tersenyum.

"Ponsel Minju," ucapnya pelan, "Kupikir kaulah yang berhak menyimpannya," laki-laki itu kemudian berbalik, meninggalkan mereka bertiga dan perasaan tak nyaman yang menyelubungi Hitomi.

"Ah," Hitomi menoleh saat Hyewon mendesah, "Kalian keberatan jika aku mampir ke apartemen tempatku dan Minju tinggal sebelum mengantar kalian? Setelah mengantar kalian nanti, aku harus pergi, dan ada barangku yang tertinggal. Akan sedikit merepotkan jika aku harus ke apartemenku setelah mengantar kalian. Tempat janji temu kami dekat dengan hotel tempat kalian menginap."

"Kau mau melihat tempat tinggal Minju?" Chaewon menoleh ke arahnya. Seulas senyum tipis yang tak sampai ke matanya tersungging di wajahnya, "Kau belum pernah ke sana 'kan?"

Hitomi tak yakin apakah itu keputusan yang tepat, atau apakah ia siap mengunjungi tempat-tempat yang berhubungan dengan gadis itu di saat ia tahu, gadis itu tengah terbaring di ranjang rumah sakit, bertahan di antara hidup dan mati, menunggu keluarganya.

Namun Hitomi tetap mengangguk—jika memang ini kali terakhirnya menginjakkan kakinya di sini, ia ingin melihat kehidupan seperti apa yang Minju jalani saat jauh darinya.

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang