Delapan Belas: Jaring Laba-laba

32 5 2
                                    

Ia tak biasanya terbangun di jam-jam aneh begini.

Ia terbiasa tidur pukul sepuluh, lalu terbangun keesokan harinya tepat pukul lima. Bagi sebagian orang, memulai aktivitas pukul lima adalah sebuah anomali—tapi tidak baginya. Baginya, semakin cepat ia bangun, semakin cepat ia bisa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang harus ia tuntaskan.

Ia juga menyukai suasana pagi. Seringkali, ia dengan sengaja duduk di teras belakang rumah, menunggu matahari terbit. Ia menikmati aroma embun bekas hujan tadi malam, atau angin fajar yang berembus menyapu wajahnya. Hanya pagi-pagi begini saja ia bisa mengosongkan kepalanya dari segala pikiran buruk yang kerap menghampiri.

Maka dari itu, ia tak suka mesti terbangun jam segini—ia jelas akan kesulitan untuk kembali tidur. Ia tidak ingin merusak rutinitasnya. Namun, rasa hausnya mengalahkan segalanya.

Malam itu ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Diliriknya jam yang tergantung di dinding. Sudah hampir tengah malam. Samar, ia bisa mendengar pagar rumah mereka berderit. Dahinya berkerut.

Siapa?

Ia bergegas menyambar apa pun yang ada di dekatnya—vas bunga, tidak buruk. Ia mengendap menuju pintu, menyibak gorden perlahan hanya untuk melihat Hitomi yang berjongkok sambil menutup kedua wajahnya di depan pagar. Ia sudah akan memutar kenop pintu, berlari menghampiri gadis itu saat didengarnya langkah kaki dari arah tangga. Buru-buru ia berlari menuju kamarnya, menutupnya pelan.

Suara klik pelan terdengar, diikuti gemeresik kain.

"Kau baru pulang?" Ia mengenal jelas suara siapa itu.

"Seperti yang kaulihat," Hitomi berbisik pelan, "Kenapa kau belum tidur?"

"Menunggumu pulang."

"Aku bukan anak kecil."

"Kau memang bukan anak kecil, tapi seperti anak kecil, kau butuh penghiburan. Bahkan, lebih dari itu."

"Apa maksudmu?" pertanyaan itu persis dengan apa yang ingin ia lontarkan. Gadis satunya menjawab

"Beberapa hari ini aku tak sengaja melihatmu turun dari mobil di ujung jalan. Kau tahu benar jendela kamarku menghadap ke sana, bukan?"

"Ah—"

"Itu mobil Minju bukan? Kalian... memutuskan untuk terus berkencan?"

Berkencan?

****************************

Chaewon buru-buru membanting pintu mobilnya begitu mesin telah mati. Setengah berlari ia membuka pintu pagar—ia bahkan hampir tersandung kakinya sendiri. Tanpa mengetuk pintu, tanpa membunyikan bel, ia membuka pintu rumah Hitomi, mendapati sang bibi dan sang paman yang tampak kalut, hilir mudik membawa pakaian dan beberapa barang mereka. Sebuah koper tergeletak begitu saja di ambang pintu. Chaewon melirik ke arah meja makan.

"Hitomi di atas bukan?"

Nako mengangguk. Tepat sebelum Chaewon menginjakkan kaki di anak tangga pertama, Nako menahan lengannya. Chaewon menoleh, dengan raut wajah bertanya. Nako balas memandangnya dengan tatapan khawatir

"Kenapa ini semua bisa terjadi?" lirih ia berbisik, "Minju bukan manusia yang ceroboh—kita semua tahu itu, paling tidak, soal urusan pekerjaan. Meski aku dan Sakura hanya bisa bertemu kalian saat liburan saja, aku tahu benar dia bukan orang yang mudah kehilangan fokus saat bekerja."

Chaewon menggigit bibir. Matanya berlarian ke sana ke mari. Nako mendesah, "Kau tahu sesuatu yang tak kami tahu, bukan?"

"Kau mau ikut?" Chaewon tiba-tiba bertanya. Melihat Nako melempar raut kebingungan, buru-buru ia menambahkan, "Aku akan memesan tiket untukku dan Hitomi. Juga paman dan bibi. Kau mau ikut? Kita harus mengejar penerbangan paling awal."

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang