Sembilan: Keputusan

41 7 2
                                    

"Kim Minju?"

Yuri terbelalak saat di depan pintu apartemennya, berdirilah Minju, dengan wajah memerah dan kedua mata membengkak. Rambutnya berantakan, pakaian gadis itu kusut di sana-sini, dan jika Yuri tak buru-buru menangkapnya, gadis itu mungkin sudah tersungkur di lantai.

"Ini sudah larut, kau—kau mabuk?" sambil memapah gadis itu masuk, samar ia bisa mencium bau alkohol yang menyeruak. Minju tentu saja pernah beberapa kali menjarah apartemennya—gadis itu seringkali dengan tak tahu malu menggasak apapun yang Yuri simpan dalam kulkas. Meski bersungut-sungut, ia tak pernah benar-benar marah; keesokan harinya, Minju akan menghadiahinya dengan keranjang kosong dan kalimat 'ambil semua yang kaubutuhkan, tabunganku terbuka untukmu hari ini.'

Ini juga bukan pertama kalinya Minju mabuk—mereka adalah perempuan dewasa. Mereka sesekali bertemu untuk menikmati beberapa gelas cocktail, berbincang tak tentu arah, lalu terbangun keesokan harinya dengan kepala berat dan rasa malas luar biasa. Yuri tak asing dengan itu.

Tetapi Minju yang berantakan dan mabuk—ini kali pertama Yuri melihatnya.

"Ha—hik!" gadis itu melingkarkan sebelah lengannya di pinggang Yuri, "Yah, Jo Yuri," matanya tak fokus menatap Yuri. Ada cengiran bodoh terlukis di wajahnya, "Ayo mabuk denganku sampai pagi."

"Minju, kau harus bekerja besok," susah payah Yuri menyeretnya ke arah sofa. Beberapa kali Minju hampir tersandung kakinya sendiri, "Ingat, kau pulang untuk bekerja."

"Perse—hik—persetan," sebelah tangannya mengibas. Ia mengaduh sesaat setelah Yuri mengenyakkan tubuh mereka ke atas sofa, "Persetan, Chaewon bosku, dia tidak akan—hik—marah," gadis itu tertawa, "Aku pulang bukan untuk bekerja," suaranya diseret, "Aku pulang untuk bilang pada Papa—hik—kalau aku dan Hi—hik—Hitomi—"

Kata-kata gadis itu terputus. Yuri memejam. Hitomi. Kekacauan yang terjadi beberapa hari ini bermuara pada pertemuan orangtua kedua gadis itu. Yuri menggigit bibir saat ekspresi Minju berubah sendu.

"Ha—hik—Hitomi..." Minju menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, "Bajingan..."

"Minju—"

"Hatiku sakit, Yuri—hik!" sebelah tangan Minju bergerak meremas dada, "Sakit—di sini—sakit sekali..."

Tanpa banyak bicara, Yuri menarik Minju ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu meluapkan segala kesedihan yang selama ini ia simpan sendiri. Tangan Yuri terangkat, bergerak menepuk punggung gadis itu pelan, "Tumpahkan semua..."

"Aku menyayangi Papa, tapi kenapa Papa jahat sekali..."

"Aku di sini, Minju, aku di sini..."

"Aku menyayangi Hitomi, tapi kenapa ia tak mau berjuang bersamaku..."

Dipeluknya gadis itu hingga yang tersisa dari Minju hanyalah hela napasnya yang teratur, jejak air mata yang mulai mengering, pakaian kusut, dan mulut yang merapalkan Hitomi dan Papa bagai mantra penyembuh—berharap dengan begitu, angin sanggup membawa sakit hatinya pergi.

Yuri menghela napas setelah berhasil menyeret Minju ke atas tempat tidur. Baju gadis itu basah. Tidur berbalut kemeja juga takkan nyaman. Ia menarik pakaian pertama yang ia lihat begitu lemari terbuka. Sepasang piyama dengan motif beruang berwarna hitam. Dengan telaten ia membersihkan wajah dan leher Minju, lalu menggantikan baju gadis itu. Ia mendesah melihat gadis itu merengut dalam tidurnya. Setelah memastikan Minju tidur dengan nyaman, ia bergerak keluar, mencari ponselnya yang tadi ia tinggalkan di dapur.

Hingga kini, Yuri masih tak bisa memproses apa yang terjadi. Semua terlalu berat untuk ia terima. Namun, jika ia saja tak bisa memahami skenario kejam yang disusun semesta, bagaimana dengan Hitomi dan Minju?

Bagaimana dengan Hitomi?

Hitomi bukanlah gadis yang sembrono. Sejauh yang bisa Yuri ingat, gadis itu selalu memikirkan setiap langkah yang ia tempuh dalam hidupnya. Yuri bahkan pernah dibuat melongo saat melihat agenda Hitomi selama satu pekan. Detail, dari bangun hingga tidur lagi. Pukul berapa ia harus pergi. Pukul berapa ia harus kembali. Berapa lama ia bisa bersantai. Berapa lama ia harus bekerja.

Hitomi adalah manusia paling teratur, teliti, dan terencana yang Yuri tahu. Maka saat Hitomi memilih untuk merelakan hubungannya dengan Minju tepat ketika sang ibu mengenalkan ayah gadis itu sebagai calon ayah barunya, Yuri percaya bahwa Hitomi telah memikirkan keputusannya matang-matang.

Namun barangkali, ia lupa bahwa kali ini, keputusan yang ia ambil menyangkut hidup—dan hati dua manusia yang hanya ingin bersama.

"Apa yang harus kulakukan..." tepat setelah kata terakhir meluncur dari mulutnya, ponselnya berdering. Ia meraih gelas, mengisinya dengan air tepat sebelum menarik ponselnya. Diliriknya sekilas nama si penelepon. Ia mendesah, "Minju di sini."

"Syukurlah," di ujung sambungan telepon, Chaewon berkata, "Aku telah berbohong pada Paman Donghyun bahwa ia lembur bersamaku di apartemenku."

"Hitomi tahu?" tanya Yuri. Hitomi takkan mau bercerita padanya. Jangan salah paham—mereka berempat selalu dekat, tetapi ada sekat yang kerap kali memisahkan dirinya dan Hitomi. Sebaliknya, dengan Chaewon, gadis itu seperti tak tahu diri; bercerita apa saja, meminta apa saja, bahkan tak jarang Hitomi merengek pada dan mengatai gadis itu.

Mungkin karena gadis itu adalah sepupu Minju. Entahlah.

"Dia bersamaku," bisik Chaewon pelan, "Sepertinya ia sudah berbohong pada Bibi Keiko. Sakura mengirimiku pesan bahwa Bibi bilang, Hitomi pergi bersama teman klubnya sewaktu kuliah dulu. Kau teman satu klubnya. Jika Bibi bertanya padamu, karanglah satu cerita yang paling meyakinkan."

"Kepalaku sakit, Chaewon."

"Hatiku juga sakit."

"Kau sudah dengar alasan Hitomi—" Yuri menggigit bibir, mengerling sekilas ke arah pintu kamarnya yang sedikit terbuka, "Kau tahu, soal kenapa ia tak sama sekali—"

"Ia datang kemari sambil menangis, Yuri."

Yuri terdiam. Hitomi yang ia tahu tak mudah menangis. Gadis itu jarang sekali meneteskan air mata. Ia hanya pernah menyaksikan Hitomi menangis dua kali; saat mereka lulus kuliah, lalu saat Chaewon terjatuh ketika gadis itu melakukan hobinya—panjat dinding. Gadis itu selamat, tentu saja—jika tidak, mana mungkin mereka berbincang sekarang—tetapi gadis itu menghabiskan enam bulan di atas tempat tidur.

Hitomi menitikkan air mata hanya ketika gadis itu benar-benar tersentuh—atau sesuatu yang besar terjadi pada orang terdekatnya

Dan kali ini, Yuri yakin gadis itu lebih dari hancur.

"Bagaimana keadannya sekarang?" Yuri berjalan menuju sofa, mengenyakkan dirinya di sana. Gemerlap lampu kota seolah mengisyaratkan bahwa kota ini tak mengenal tidur. Bagi mereka yang mencari kesenangan, hari baru saja dimulai. Bagi mereka yang mencari tempat berpulang, jalan setapak dan remah roti harus segera dicari sebelum hilang dibawa angin.

Bagi mereka yang tersesat dan ingin melupa, satu-satunya cara adalah menghabiskan malam tanpa pagi.

"Sudah tidur," jawab Chaewon pelan, "Kuceritakan padamu lain kali saja. Kau tahu benar kalau Hitomi mudah terbangun."

"Hm," Yuri mengangguk meski tahu Chaewon takkan bisa melihatnya, "Chaewon?"

"Ya?"

"Kapan pernikahan Paman dan Bibi dilaksanakan?"

"Tiga bulan dari sekarang. Tadi siang, Paman memberitahuku. Minju berniat untuk mempercepat kepergiannya—tunggu, jangan menyela. Hal itu mungkin terjadi. Pada tahap akhir projek kami, tak masalah jika Minju tak ada di sini. Sebelumnya, ia memang ingin tinggal hingga projek benar-benar selesai, kau tahu kenapa, tapi ini semua terjadi dan yah—Paman tak ingin melaksanakan pernikahan tanpa putrinya. Jadi, mereka juga memajukan tanggal pernikahan. Kurasa keputusan Hitomi sudah bulat.

"Sepertinya ia merelakan hatinya untuk patah sepatah-patahnya demi kebahagiaan orang lain."

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang