Enam: Kejutan

43 5 2
                                    

Yuri mau tak mau menyadari ada yang berbeda dengan teman bertengkarnya itu.

Biasanya, lewat telepon, Minju akan bicara tanpa henti; bagaimana harinya berlalu, cuaca di tempatnya berada, tetangganya yang menyebalkan, kemacetan yang membuatnya gila, atau bagaimana tingkah manis Hitomi seolah mencerahkan harinya yang kelabu. Namun, sudah beberapa hari ini Minju tak menghubunginya. Seolah gadis itu tengah menutup diri. Pesan-pesannya kadang hanya dibaca. Bahkan, pesan-pesan iseng yang biasanya memancing pertengkaran kecil di antara mereka hanya ditanggapi seadanya oleh Minju.

Seolah gadis itu berubah jadi orang lain.

Yuri tak berani bertanya, tentu saja. Ia mengenal Minju dengan baik—cukup baik hingga ia sadar, gadis itu takkan membuka mulut kecuali dia benar-benar sudah tak sanggup. Ditatapnya sekali lagi obrolan mereka. Minju bahkan tak membalas pesannya kemarin soal ajakan untuk makan siang bersama hari ini. Ponselnya berdenting. Chaewon.

Kim Chaewon

Sayang, maafkan aku, jalanan macet

Aku akan terlambat sepuluh menit

Berhenti memanggilku sayang, dasar buaya
Dan kau bukan AKAN terlambat
Kau sudah terlambat SATU JAM
Kaupikir aku ini pengangguran hah?

Kim Chaewon

HAHAHA
Oke, oke
Makan siang kali ini gratis
Maaf
Oh, oke jalanan lengang
Aku akan segera meluncur ke sana

Yuri menghela napas. Kim Chaewon adalah manusia paling tidak tahu diri yang ia kenal. Selain tidak tahu diri, ia adalah jiwa paling bebas yang ia tahu, "Dia pikir aku ini apa, hah? Seenaknya saja memanggil orang lain dengan panggilan itu," gerutunya pelan. 

Jika saja Yuri tak mengenal gadis itu dengan baik, barangkali Yuri akan jatuh hati dengannya. Namun setelah mengenal Chaewon lebih dari separuh usianya, Yuri bahkan tak mau memikirkan kemungkinan jatuh cinta pada Chaewon. Tentu saja gadis itu cantik. Yuri bahkan heran kenapa ada manusia secantik dan semenarik Kim Chaewon. Namun, kisah asmaranya tak pernah berjalan mulus—tak ada yang bertahan lama, dan Yuri sangsi bahwa jika mereka terlibat dalam hubungan romantis, mereka akan bertahan lama.

Membayangkannya saja membuat Yuri bergidik.

"Permisi, apakah teman Anda sudah dekat? Atau barangkali, Anda mau memesan lebih awal?"

Yuri menoleh. Sang pelayan berdiri di dekatnya, gantian menatap dirinya dan jam yang tergantung tepat di atas kepala Yuri. Gadis itu diam-diam mendesah, aku memang tidak mungkin terus-terusan memesan minuman. Bisa-bisa kembung. Yuri memaksakan seulas senyum, "Oke," ia meraih buku menu di hadapan, mencari menu paling mahal, lalu setelah menyebutkan pesanannya, sang pelayan pergi.

"Toh, dia yang bayar," gumamnya pelan sambil mengangkat bahu. Ia lantas mengalihkan pandangannya ke arah luar. 

Yuri benci musim panas, sekaligus menyukai musim panas. 

Ia bahkan tak mengerti bagaimana ia bisa membenci dan menyukai sesuatu sekaligus. Manusia memang aneh. Yang semestinya dipecahkan bukanlah teka-teki; sebab teka-teki paling rumit adalah diri kita sendiri. Di luar, para pejalan kaki sudah mulai mengenakan baju lengan pendek—beberapa bahkan mengenakan topi dan kacamata hitam. Sebagian melindungi kepala dari terik matahari dengan payung. Yuri meringis saat seorang pejalan kaki menabrak pejalan kaki lain, menumbahkan es kopi di tangan, membasahi kaosnya yang berwarna putih.

Petaka.

"Pesanan Anda," lamunan Yuri buyar tatkala wangi daging panggang memenuhi indera penciumannya. Setelah memastikan pesanannya lengkap, si pelayan kemudian pergi, diiringi dengan ucapan terima kasih samar dari Yuri. Gadis itu menyeruput sodanya, "Di mana sih dia?"

SeandainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang