0

1.3K 200 73
                                    

Ehe, selesai revisi terbitlah series King :v

***HAPPY READING***

King menatap datar samudra biru yang membentang luas di hadapannya. Suasana sangat tenang di sana.

"Kalau itu yang mereka inginkan."

Byur! King terjun ke permukaan laut. Topi bundar kuning khas topi bocah TK miliknya terbang ditiup angin.

Bunuh diri mana yang tidak menyiksa?

King pikir kalau meminum air laut tidak akan membuatnya menderita, tapi dia salah. Ternyata tetap tersiksa. Merasakan air memenuhi tubuh, mengoyak paru-paru, menutup saluran pernapasan. Tidak mengapa, sakitnya hanya sebentar. Karena kebebasan menunggu setelahnya.

Setidaknya itulah yang King pikirkan, namun mati rupanya tidak mudah. Warga melaporkan seorang bocah melompat ke laut dan aungan sirine ambulans pun mendatangi TKP. Mereka dengan mudah menemukan King yang belum tenggelam terlalu jauh lantas menyelamatkannya.

"KING!" Suara Chalawan, sang ayah, terdengar di antara hiruk-pikuk warga. Beliau tampak dihalangi petugas. "Minggir! Biarkan aku lewat! Itu putraku!"

Akan tetapi, istrinya lebih dulu melintasi garis kuning, memberi perintah dengan suara datar yang bertenaga. "Jangan biarkan dia masuk." [Pasha Sancia Procyon, Inspektur Jenderal Kepolisian Moufrobi.]

"Baik, Buk!"

"Tunggu, Pasha!" Chalawan berseru cemas, seakan tahu alasan mengapa istrinya tidak memperbolehkan dirinya lewat.

King menatap lemah ibunya yang perlahan mendekati ambulans di bawah mimik dingin. "M-Mama..." lirihnya berusaha duduk.

King berharap Pasha akan memeluk dan menciuminya seraya bersyukur King baik-baik saja, namun itu hanyalah khayalan semata. Sangat jarang suatu ekspetasi berjalan indah.

Plak! Benar. Tamparan yang King dapatkan. Bukan pelukan atau ciuman.

"Kamu akan belajar untuk mendengarkan." Pasha mengeluarkan tongkat hitam yang biasanya digunakan para polisi dari saku celananya. "Ulurkan tanganmu."

King gemetar mengulurkan tangannya.

"You disgusting."

Selanjutnya bisa ditebak. Belasan pukulan menghujani telapak tangan King. Dia menggigit bibir guna menahan air mata. Tubuhnya bergetar menahan sakit.

"HENTIKAN, PASHA!" Chalawan menerobos masuk, menghentikan istrinya yang memukuli anak sendiri. "Kamu sudah gila?! King baru saja jatuh ke laut!"

"Lalu?" Pasha menatap Chalawan datar. "Apa hubungannya denganku? Aku tidak peduli. Anakmu itu tidak tahu terima kasih. Seharusnya dia tak menyia-nyiakan kehidupan yang diberikan adiknya. Benar-benar memuakkan."

"Dia anakmu juga, Pasha!"

"TIDAK!" Suara Pasha meninggi. "Anakku hanya Paul! Hanya dia satu-satunya!"

"Jika kamu tidak mengakui King, itu sama saja kamu menghina kematian Paul. Sadarkan dirimu, Pasha."

Pasha menatap suaminya tajam. "Paul masih hidup, Krakal. Dia pasti masih hidup di luar sana. Tersesat tidak tahu arah."

"Mau sampai kapan kamu begini, Pasha?"

"PAUL MASIH HIDUP! AKU YAKIN ITU!"

Setelahnya Pasha pergi begitu saja, meninggalkan suami dan anaknya yang tak dianggap. Emosinya selalu meledak tiap Paul disinggung. Dia percaya Paul tidak meninggal. Pasha akan mencari Paul sampai ketemu. Dia takkan menyerah.

Chalawan menghela napas panjang, mengusap-usap kepala King. "Lenganmu terluka. Ayo ke rumah sakit bareng Papa."

King meremas seragamnya. "A-apa Mama sebenci itu sama King? Kenapa Mama hanya mempedulikan Paul? Padahal kami kan... kembar. Kenapa hanya aku yang diasingkan? Ini tidak adil."

"Mempunyai wajah sama tidak menjamin kasih sayang, Nak. Jangan sedih. Masih ada Papa. Kita harus mengobati lukamu." Chalawan berusaha membesarkan hati King, bilang anggap angin lalu saja.

Namun, hal serupa terjadi sekembalinya mereka dari rumah sakit menuju rumah.

Sebuah vas melayang begitu pintu terbuka. Chalawan cekatan menangkap benda tersebut sebelum menghantam King. Wajahnya merah padam. "AYAH! APA YANG AYAH LAKUKAN? AYAH BISA MELUKAI KING!"

"Dia pantas mendapatkannya," dengus kakak kedua Chalawan.

"Jika kamu ingin mati, matilah tanpa diketahui siapa pun. Kamu hanya mempermalukan keluarga ini!" Kakak pertama, si sulung, beringas emosi.

"Dasar pencari perhatian! Seharusnya laut membunuhmu!"

Chalawan memegang bahu King. "Ke kamar lah dulu. Papa akan menyusulmu nanti."

King patah-patah mengangguk. Dia berlarian ke lantai dua, mengunci pintu kamar rapat-rapat sesampainya. King dapat mendengar suara cekcok di ruang tamu. Chalawan yang mati-matian membelanya dari cemooh keluarga dan suara perabotan yang dibanting.

Ini takkan berakhir tanpa adanya Paul. Perang dingin di rumah besar itu takkan mengendur jika Paul tidak kembali.

"Aku harus mencari Paul. Kalau Mama bilang dia masih hidup itu berarti dia hidup. Paul pasti berada di suatu kota."

Tapi, bagaimana? King yang pendiam berbeda dengan Paul yang punya banyak teman. Bagaimana caranya meminta bantuan sementara dia introvert?

Ah, benar. Dia harus berubah. Bukankah ini keuntungan dari 'kembar'? Mereka bisa berganti kepribadian atau identitas. Tapi King takkan meninggalkan namanya. Dia akan tetap menjadi 'King' dengan merubah karakter menjadi 'Paul'. Dia harus membangun pertemanan untuk mencari informasi.

Paul itu pintar, maka King harus pintar.

Paul itu humoris, maka King harus pandai membuat orang sekitarnya tertawa.

Paul itu tidak memakai kacamata culun, maka King menggantinya dengan softlens.

Sudah sempurna.

Tapi kenapa? King baru saja menyesuaikan hidupnya yang baru, kenapa Pasha tewas? Dia meninggal karena mengerjakan sebuah kasus. Dia meninggal tanpa mengucapkan kata 'sayang' dan 'maaf' pada King. Dia meninggal tanpa pernah memeluk King.

"Ah, dia mati. Padahal aku belum menemukan Paul. Percuma deh jadinya," komentar King di rumah pemakaman.

"KING! JAGA MULUTMU!"

Pemilik nama menguap malas, tidak peduli dan tidak tertarik tatapan tajam yang dilemparkan oleh sanak saudaranya. Dia memutar langkah, berbalik pergi, membuka bungkus permen tangkai.

"MAU PERGI KE MANA KAMU, ANAK SIALAN? KEMBALI KEMARI! PEMAKAMAN IBUMU BELUM SELESAI! JANGAN PERGI, ANAK BRENGSEK!"

King berhenti melangkah, dia menoleh seraya memasang headset. "Ke karaoke."








[END] King Krakal - "Please Find My Brother"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang