1

772 187 63
                                    

"Wahai matematika, bisakah Engkau berhenti menyuruhku mencari X dan Y? Aku muak dengan petak umpet yang mereka lakukan. Aku muak dengan drama yang mereka perbuat. Seolah tidak ada yang lain di dunia ini. Kenapa Engkau selalu dan selalu memintaku mencari mereka? Ayo dong move on. Masa tidak bisa."

Kasihan sekali seorang King Krakal. Soal diajak bicara, tapi dikacangi. Rumus diajak kencan, tapi ditolak duluan. Apalagi kurangnya King? Sudah tampan, kaya lagi. Cuman otak yang rada miring. Tapi itu bukan masalah besar.

Si Raja Abal-abal itu menutup mulut. "Jangan-jangan X dan Y tidak mau bertemu denganku karena aku bau? Padahal aku mandi sepuluh kali sehari. Aku selalu pakai sabun dan sampo yang mahal kok."

Plak! Sebuah buku paket tebal menepuk kepala King membuatnya melotot. "Apa sih?!" serunya kesal sembari mengusap-usap hasil jotosan yang baru saja melayang.

"Suaramu kekencangan."

King bersedekap layaknya pelanggan protes akan diskon belanjanya yang kedaluarsa. "Pa, bukankah King biasanya begini? Suara King cempreng sejak lahir!"

Plak! Tepukan kedua mendarat. Chalawan menatap King tajam. Tidak ada baik-baiknya. "Panggil saya Pak atau saya usir kamu dari kelas." Beliau memang mengajar mata pelajaran matematika.

"Ayo usir kalau berani." King menantang.

Satu menit kemudian.

"Lho King, kenapa kamu di luar?" Murid-murid yang lalu lalang di koridor menatap King bingung. Kenapa dia ada di luar kelas selagi ayahnya tengah mengajar?

King tersenyum dengan ekspresi terilhami. "Aku tidak berhasil menemukan X dan Y. Aku tidak berhasil menyatukan mereka dengan limit trigonometri. Aku gagal."

"Oh sakit otakmu kambuh, ya? Pantas saja ayahmu jenuh dan mengusirmu. Kasihan aku sama Pak Chalawan."

"Apa beda fitnes dengan fitnah? Fitnes ke GYM, kalau fitnah mah kejam." King dengan super berlebihan mengusap air mata buaya yang mengalir dari pelupuknya karena tetesan obat mata. "Kalian semua kejam samaku! Aku pergi!" rajuknya meninggalkan kelas.

Murid tersebut geleng-geleng kepala. "Ada ya makhluk gila macam dia. Meresahkan." Mungkin satu sekolah sudah tahu akan ketidakwarasan King tapi mereka memaklumi sebab King anak kepsek.

"Jangan begitu dong," celetuk temannya.

"Why? Aku hanya mengatakan fakta."

Temannya memasang ekspresi yang sulit ditafsirkan. "Pokoknya jangan. Kasihan. Begitu-begitu dia korban."

"Korban? Maksudmu anggota klub detektif Madoka? Iya sih. Kasihan mereka jadi korban kegilaan King. Mereka pasti frustasi meladeni King setiap hari. Anak itu aku curiga mengonsumsi pil kesablengan."

"Aku serius. King itu korban."

"Ya korban apa dulu. Jangan bicara setengah-setengah!"

"Lho, kamu belum tahu rumor itu? King korban—"

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Chalawan menginterupsi obrolan. Mereka berdua langsung ciut nyalinya. Apalagi melihat wajah sangar kepala sekolah. "Ini jam pelajaran. Kembali ke kelas kalian sekarang."

"B-baik, Pak!"

Memastikan punggung mereka menghilang, Chalawan menghela napas gusar. Entahlah... Siapa yang menyebar rumor sialan itu. Dia pikir sudah sepenuhnya menutup rahasia anaknya, tapi tetap saja jebol. Apakah benar salah menyekolahkan King di sana?

Chalawan terpaksa meminta bantuan dewan siswa. Padahal dia paling malas bertatap muka dengan Apol.

*

[END] King Krakal - "Please Find My Brother"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang