Part 7

113 6 0
                                    

" kamu yakin ? " Raiko bertanya pelan, menatap putranya yang sedang serius saat ini, Reno mengelus lembut rambut Rena " kamu percayakan sama kakak ? "

Rena mengangguk, memper-erat pelukan pada ibunya, mata bulat itu tampak sembab, sebuah perban membalut tangan kiri Rena, kejadian kemarin mencederai lengannya, membuat Reno hilang kesabaran, bagaimana mungkin anak sekolah jaman sekarang bersikap sebrutal itu, mereka itu pelajar tapi tingkahnya lebih rendah dari mereka yang tidak sekolah, apa dengan menyakiti orang lain mereka menjadi hebat? Iya? Apa mereka tidak berfikir, orang yang mereka sakiti itu juga seorang anak dari orang lain. Di besarkan dengan susah payah, dan mereka, se-enaknya saja menyakiti, Reno tidak habis pikir, nakal adalah wajar tapi tidak dengan merugikan orang lain.

Raiko membelai pipi Rena, " semua akan baik-baik saja " ucapnya lembut, bagaimana mungkin anak sekolahan bisa bersikap jahat seperti ini, Raiko meringis, putrinya adalah orang yang periang, ceria, tak pernah bermasalah, tapi, , sejak mengenal pria itu, putrinya berubah drastis, sering bolos, dan sekarang, menjadi bahan bully-an teman-temannya.

Tok. . .
Tok. . .

" Masuk " Reno menatap pintu yang terbuka, Nana di sana dengan bingkisan buah, tersenyum lalu segera memeluk Rena.
" Maaf " Nana berkata menyesal.

Rena tersenyum tipis, mata indah yang dulu selalu bersinar, sekarang meredup, bagai Awan hitam, Nana menggigit bibir bawahnya, dia merasa menjadi sahabat yang tidak berguna. Tidak bisa berbuat apa-apa untuk Rena. Air mata menetes, " aku benar-benar tidak berguna " Nana berkata parau. Menangis sembari memeluk Rena.

****

Rena diam, sekarang semuanya sudah pergi, hanya ada dia sendiri di dalam kamar, menatap ke luar jendela sambil memeluk kedua lutut, merasa hampa.

" I love u " suara Deon selalu terdengar, ucapan lembut itu terdengar amat tulus, Rena tertawa hambar. " Ini apa kak ?" Rena menatap penasaran.
" Tutup dulu mata kamu " Rena menuruti, mata itu terbuka dan terperangah, sebuah liontin indah bergelayut mesra di lehernya, sebuah hati berukir bergantung di sana, Rena membuka hati itu, sebuah foto tampak di sana, menciptakan senyum lebar di bibir Rena. Foto dia dan Deon tampak di dalam liontin itu. " Ini hatiku, ku serahkan padamu " bisik Deon lembut. Melingkari tangan kokohnya pada perut ramping Rena.

Rena mengerjap, menghapus jejak basah di pipinya, kenapa ingatan itu, suara itu masih terasa, seolah itu baru terjadi kemarin. Rena mengambil kotak beludru di dalam laci. " Hatimu bukan lagi milikku " Rena bergumam. Mengambil sweater dan bergegas pergi.

***

Rena menatap ponselnya, sebuah pesan masuk.

' ke apartemen ku, sekarang. '

Rena membaca pesan itu tanpa berniat membalas, satu lagi pesan masuk.

' ada sesuatu yang harus kau ambil '
Rena menautkan alis, berfikir, apa yang harus dia ambil. Namun dia memilih membacanya saja. Lagi, satu pesan masuk membuat Rena agak kesal.

'281295'

****

Rena berdiri di depan sebuah apartemen, milik Deon. Dan pria itu bahkan sudah memberikan password, dan itu adalah tanggal ulang tahun Rena, apa maksud pria itu. Rena tak berniat menekan password itu, dia memilih memencet bel, satu, dua, bahkan berkali-kali. Namun tak ada jawaban, dia harus mengembalikan kalung ini secepat mungkin. Akhirnya, setelah berfikir keras, mungkin Deon tidak ada di dalam, dan memberikan password ini agar Rena mengambil sendiri barang yang Deon maksud. Meski Rena masih bingung.

Rena mulai menekan tombol-tombol kecil itu, pintu terbuka. Rena merasa sesak, dulu dia sering ke sini, menghabiskan waktu bersama Deon, aroma ini, Rena sangat merindu, dengan bersusah payah akhirnya Rena memberanikan diri memasuki apartemen, gelap, perlahan Rena masuk. Mencari saklar lampu, namun tidak ada.

Srek. .

Sebuah suara samar-samar terdengar, " hantu " pikir Rena sedikit panik.

Ceklek

Rena akhirnya menemukan saklar lampu, terang merambah seketika, membuat mata indah Rena membulat sempurna, Deon, dia.

" Kak Rena "

Deon tersenyum miring, meraih pinggul Rani, memaksa wanita itu memuaskan nafsunya, menciuminya amat bersemangat. Rena terdiam, tubuhnya kaku, entah kenapa ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya, sejak kapan. Sejak kapan Deon dan Rani memiliki hubungan, Rena mundur perlahan, dia tak sanggup melihat semua ini, seluruh nafasnya terasa menyakitkan. Dia memerlukan banyak oksigen sekarang.

" Kak Deon stop " Rani memohon, dia shock dan tak tahu harus bagaimana. Kenapa kakaknya ada di sini, Deon berhenti, " pergi " desis Deon dingin setelah memastikan Rena telah keluar dari apartemen nya.

Rani menatap aneh. Kenapa dengan Deon. Apa dia berbuat salah. " Kakak kenapa? Marah? "

" Gak, gue udah males sama loe, pergi. ! " Deon berjalan menuju kamar mandi. Dia merasa jijik. Harus membersihkan tubuhnya.

" Kak, maksud kakak apa ?"

" Loe ngerti gak artinya Pergi? Gue udah bosen Ama loe, sekarang loe boleh pergi. Hush " Deon meninggalkan Rani dengan sejuta kebingungan dalam benaknya.

***

" Kamu baik-baik ya di sana? " Bara memeluk Rena untuk yang terakhir kalinya.

" Iya kak. Makasih ya udah banyak ngebantu aku " Rena tersenyum tipis, Rena berbalik, berniat pergi.

" Ren " Bara berujar gugup. Membuat Rena menoleh menunggu ucapan Bara.

" Gu- gue , emmm, gue, gue cuma mau bilang jangan lupa kabarin kalo udah sampai. " Bara merutuki dirinya. Dasar pengecut. Teriaknya dalam hati. Rena mengangguk. Segera berjalan menghampiri Reno yang sudah menunggu.

Raiko tampak berurai air mata, sedikit berat melepaskan kedua anaknya pergi.

Bara menatap kosong pesawat yang baru saja lepas landas, kepergian Rena meninggalkan lubang besar dalam hatinya, " kak " Suara Nana menyadarkan Bara dari lamunan.

" Ya, ada apa ? " Bara berusaha bersikap seperti biasa.

" Kakak suka kan sama Rena? "

Bara diam, " mungkin "

Nana diam , menelan Saliva nya gugup " kak "

" Ya, loe kenapa sih ? " Bara mulai penasaran, " kenapa kakak gak nyatain perasaan kakak ke Rena ? " Nana bertanya pasti.

" Karena jodoh gak akan tersesat, mungkin bukan hari ini, tapi jika berjodoh pasti kelak akan di persatukan. " Bara akhirnya menjawab. Dia sebenarnya takut mendengar jawaban Rena, di mata Rena masih ada Deon, dan Bara bisa melihat kenyataan itu.

" Kalo gitu, kakak mau gak jadi jodoh aku ?"

Bara diam, dia merasa tadi telinganya agak berdengung. Seperti ada ungkapan perasaan. Ahhh halu kali, pikir Bara

" Kak ! " Nana berkata pasti. Membuat Bara sedikit ragu .

" Kamu gapapa? Lagi demam ya ?" Bara terkekeh, tak percaya.

" Aku serius kak ?" Nana memberanikan diri, dia tak mau kehilangan cintanya hanya karena gengsi. Dia suka kak Bara, suka sekali seperti dia sangat menyukai coklat.

Bara masih tak percaya, terkekeh" ok, kalo emang kita jodoh. Kamu liat pintu keluar bandara kan ? "

Nana mengangguk.

" Nah, kalo ada orang yang keluar dari bandara sambil memakai payung merah. Kita jadian " Bara berkata.

" Gak bisa gitu dong kak. Ini musim panas mana ada yang pake payung. Kakak sengaja kan ? " Nana tampak tak terima.

" Ok. Biar lebih adil. Kita hitung sampe 100 orang. Kalo di antara 100 orang ada yang pake payung merah. Kita jadian. Deal ? " Bara menggeleng. Mana ada orang pake payung pikirnya. Ini Indonesia bro. Gengsi kali pake payung apalagi panas. Warna merah pula aelah.

" Deal " Nana berkata pasti. Jika berjodoh merek pasti akan bersama. Karena jodoh tak pernah tersesat.

****

Selamat menikmati. Maaf kalo banyak typo. Belum saya koreksi lagi. Mungkin nanti saya periksa. Sekarang tangan saya sudah mulai mati rasa. See u next time guys. 


pilihan hati [ Destiny ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang