Jam Malam

3.1K 389 2
                                    

Di asrama ada aturan untuk pulang sebelum pukul sembilan malam. Biasanya kami sebut jam malam. Sebulan lebih sudah aku mematuhi aturan jam malam itu. Namun akhirnya tak tahan juga. Apalagi sejak SMA, aku terbiasa begadang di warnet.

Sejak minggu pertama masuk asrama, aku sudah berkeliling di jalan sekitar kampus. Mencari keberadaan warnet game. Ada dua warnet di jalan Duta, samping kiri kampus. Salah satunya berada di lantai dua sebuah supermarket. Itu yang paling dekat dengan asrama.

Hari ini, aku memberanikan diri untuk bermain hingga larut malam. Kata teman-teman yang sering pulang malam. Jika jam malam sudah lewat, mereka biasa masuk ke asrama melalui selokan di dekat Asrama B. Bisa juga melalui pagar kawat yang sedikit terbuka, di area jemuran Asrama A. Hal itu yang semakin membulatkan tekatku untuk mencoba pulang malam.

Waktu menunjukan pukul setengah dua belas malam. Aku sudah ke luar dari warnet, berjalan memasuki area kampus. Sudah kuduga, tidak ada satupun ojek yang mangkal. Aku lanjut berjalan sampai persimpangan. Pilihannya antara dua, melalui asrama putri atau memotong jalan melalui gedung Fakultas Pertanian dan Kehutanan.

Sempat berpikir sejenak, akhirnya aku memutuskan melalui asrama putri. Di sana lebih terang daripada harus melalui ruang-ruang kelas yang kosong dan gelap. Apalagi ada jalan panjang yang sangat gelap di dekat Fakultas Kehutanan.

Ingat pos satpam sebelum tanjakan antara Fakultas Pertanian dan MIPA?

Area di dekat pos satpam itu sukses membuat bulu kudukku meremang. Seperti ada sesuatu sedang duduk di atas pohon besar, di belakang pos satpam. Sehingga aku harus melewatinya sambil menundukan kepala sampai ke depan Astama Putri.

Di samping kiri, ada deretan kelas Fakultas Kehutanan. Dari jalan aku bisa melihat ke dalam kelas karena jendelanya tidak dilengkapi tirai. Hawanya semakin tidak enak ketika melewati satu persatu ruangan kelas itu.

Aku mempercepat langkah, sampai pertigaan dekat Blue Corner. Terlihat lampu jalan berwarna kuning menerangi tikungan. Namun saatku berbelok, tiba-tiba bulu kuduk ini meremang. Tidak hanya itu, kurasakan ada angin dingin di belakang leher.

Dep!

Lampu jalan mati. Diikuti suara gesekan pohon bambu yang bergerak.

Aku mempercepat langkah, sambil terus berjalan menunduk. Ketika melalui kantin Blue Corner. Dari ekor mata terlihat seseorang sedang berdiri di salah satu tempat jualan.

Pada saat itu juga, aku berlari sampai ke dekat asrama. Kunaiki tangga batu, menuju area jemuran di Asrama A dan masuk melalui celah di antara kawat duri.

Sialnya, ternyata di sana sudah ada sosok yang menunggu di balik pohon pisang. Memang tidak terlihat jelas. Namun aku yakin sekali sosok berbaju putih itu berdiri dan mengintip dari balik pohon pisang. Sosok yang pernah diceritakan Dudi. Pocong.

Sontak, aku berlari melewati jalan di samping Asrama A. Kemudian turun melalui tangga besar menuju Asrama C. Kupikir semuanya akan selesai ketika masuk ke dalam asrama. Ternyata pintu kamarku tidak bisa dibuka. Sepertinya salah satu temanku lupa, masih mengantungkan kunci di dalam.

Ada sesuatu yang menarikku untuk melihat ke arah tangga. Entah apa maksudnya, tapi jantung ini sudah berdetak kencang.

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk cepat, "Brar! Brar!" panggilku. Berharap ia bangun, karena perasaan ini sudah mulai tak enak. "Brar!" Belum ada tanda-tanda teman kamarku yang bangun.

Perasaanku semakin tak enak. Dari tembok di dekat tangga, seperti ada yang mengintip.

Tok! Tok! Tok!

"Brar ...." Aku mengentuk agak lebih keras.

Krek! Krek!

Bunyi kunci bergerak. Tak lama, pintu pun terbuka.  Spontan, aku langsung bernapas lega. "Makanya jangan pulang malem," omel Abrar.

"Lain kali kuncinya jangan di gantung, Brar," sahutku seraya naik ke atas kasur.

___________

"Dan! Dani." Abrar menggelitik kakiku supaya bangun dari tidur.

"Apaan, Brar?" balasku menggeliat dengan mata tertutup.

"Sholat subuh di masjid yuk!" ajaknya.

"Bentar, kumpulin nyawa dulu."

"Jangan lama-lama!"

"Iya." Aku duduk di atas tempat tidur masih belum sadar sepenuhnya. Lalu, bangkit dan mengenakan sarung. Setelah itu kami pun berangkat ke masjid.

Ini pengalaman pertamaku sholat subuh di Masjid Kampus. Baru tau, kalau suasana di luar asrama saat subuh cukup ramai. Banyak penghuni Asrama A, B dan C yang sudah ke luar dan berjalan menuju masjid.

Dari Asrama Putra ke masjid bisa melalui dua jalan. Pertama jalan memutar, melewati Blue Corner dan pertigaan. Nanti dari pertigaan tinggal belok kanan dan lurus. Lumayan jauh dan menyeramkan. Terlebih baru beberapa hari lalu aku mendapatkan teror di sana.

Kedua, jalan pintas di belakang area jemuran Asrama A. Ya ... dekat dengan tempat Pocong yang kemarin mengintip dari balik pohon pisang. Sebenarnya melalui jalan ini di siang hari pun sudah membuatku merinding disko. Apalagi sekarang, jam empat pagi.

Aku dan Abrar memilih untuk melewati jalan pintas. Menaiki tangga semen, lalu memasuki jalan sempit. Di kanan ada deretan pohon yang menjulang tinggi. Di kiri ada sebuah gubuk. Yang entah milik siapa.

Kami melewati gubuk itu. Lurus terus, melalui jalan di belakang  Guest House — gedung untuk menginap para tamu. Sebelum belokan menuju masjid, ada pohon beringin besar.

Salah satu teman kelasku pernah bercerita. Ada seorang mahasiswa yang pulang kajian di masjid, sekitar pukul sebelas malam. Ia melewati jalan pintas ini sendirian. Ketika akan berbelok menuju jalan ke Asrama Putra. Ada sosok hitam tinggi besar sudah menantinya di dekat pohon beringin. Menghalangi jalannya. Tak jarang pula ada yang pernah melihat sosok Kuntilanak sedang duduk di salah satu dahannya.

Beruntung aku melewatinya saat menjelang subuh. Tak mungkin mereka muncul tiba-tiba. Bisa-bisa nanti kepanasan karena mendengar suara adzan.

BERSAMBUNG

Cerita Horor KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang