Malam harinya, aku memberanikan diri pergi ke warnet, setelah beberapa hari rehat. Pergi sehabis isya dan pulang lewat tengah malam.
Kali ini aku ingin mencoba jalan antara Gedung Fakultas Pertanian (Faperta) dan Kehutanan (Fahutan). Dari jalan utama, aku berjalan melewati parkiran dosen. Menaiki tangga utama menuju lantai dua.
Kondisinya sepi. Hanya ada para pencari wifi gratisan yang masih terlihat duduk di beberapa spot. Aku berjalan melalui ruang-ruang kelas yang gelap dan kosong.
Nyik!
Bunyi kursi di ruangan kelas bergeser. Sempat kaget, tapi aku memilih untuk tidak memperdulikannya. Terus berjalan melalui ruangan kelas yang sering menjadi tempatku kuliah.
Salah satu kaca jendelanya terbuka. Dari ekor mata aku bisa melihat ada seseorang sedang duduk di salah satu bangku tengah. Menunduk. Tak bergerak sedikit pun. Sontak aku mempercepat langkah, menuju pos satpam di perbatasan antara Faperta dan Fahutan.
Terlihat seorang satpam sedang duduk sambil menonton televisi. Aku menyapanya, kemudian berbelok ke jalan Fahutan. Sebuah jalan lurus yang cukup panjang. Sangat gelap. Hanya lampu gedung saja yang sedikit menerangi. Di kanan dan kiri jalan pun banyak pohon besar.
Aku menutup mata. Toh, membuka mata pun percuma, tidak ada yang bisa dilihat. Sesekali membuka mata, melihat arah jalan. Tidak lucu kalau tiba-tiba menabrak pohon.
Di unjung jalan, ada sebuah spanduk yang terpasang rendah (hampir menyentuh tanah) di antara pepohonan. Ketika membuka mata. Dari kejauhan jelas sekali terlihat ada seseorang sedang berdiri di belakang spanduk. Hanya bagian kepalanya saja yang terlihat. Reflek, aku menutup mata. Ketika membuka mata, sosok itu sudah menghilang.
Sampai di ujung jalan. Spanduk itu bergerak-gerak dengan sendirinya. Seperti ada yang mengoyang-goyangkan. Aku pun berlari, melewati pertigaan.
Dep!
Lampu jalannya tiba-tiba mati. Diikuti suara gesekan pohon bambu.
"Lagi?" kataku dalam hati. Beruntung kali ini aku tidak melihat orang yang berdiri di salah satu etalase makanan di Red Corner.
Sudah belajar dari pengalaman sebelumnya. Kali ini aku menyelinap masuk asrama melelaui selokan di dekat Asrama B. Takut kalau lewat area jemuran Asrama A, nanti ada yang sudah menungguku.
Entah kenapa setiap kali ada kejadian horor yang menimpaku. Selalu datang bertubi-tubu dalam satu malam. Padahal kan bisa dicicil setiap malam. Aneh memang.
Aku menaiki tangga menuju lorongku. Berdiri di depan pintu, sambil merogoh kantung celana. Mencari kunci. Sayup-sayup terdengar suara wanita menyanyi dari arah tangga pojok. Suaranya pelan sekali. Kata orang-orang kalau suaranya pelan, berarti dia dekat.
Ah sial! Kenapa pintu sulit terbuka.
Trek!
Pintu pun terbuka. Buru-buru aku naik ke atas tempat tidur. Masalah masih belum selesai. Baru memejamkan mata sebentar. Tubuhku memberi sinyal kalau kandung kemih sudah terisi penuh. Alias ingin buang air kecil.
Dari kaca jendela di samping tempat tidur. Kulihat salah satu teman lorong berjalan ke kamar mandi. Bergegas aku mengikutinya dari belakang. Walaupun dia sempat terkejut ketika melihatku ada di belakangnya. Syukurlah, sekarang aku bisa tidur dengan nyenyak.
*
Sabtu pagi, Abrar pergi ke Jakarta untuk menghadiri acara Himpunan Mahasiswa daerahnya. Jamil sedang pulang ke rumahnya. Sedangkan Tri, memilih untuk menginap di kamar temannya. Sisa aku, harus tidur di kamar sendirian malam ini.
Sehabis isya, aku pergi makan di jalan Dara. Ya ... daripada malam minggu cuman di kamar, sendirian pula. Apalagi ibu tidak memberiku ponsel. Jadi tidak ada hiburan. Sekitar pukul 9 malam, aku sudah kembali ke asrama menggunakan ojek.
Ketika membuka kamar, entah bagaimana jendela terbuka lebar. Apakah Tri sempat kembali ke kamar dan membuka jendela? Soalnya aku yakin sebelum magrib sudah menutupnya. Bergegas kututup jendela dan naik ke tempat tidur.
Aku menggantung sajadah, sarung dan pakaian di pembatas tempat tidur. Agar ketika menghadap kiri tidak langsung melihat ke arah jendela.
Rasanya tidurku malam ini tidak tenang. Suara ketukan di jendela lumayan mengganggu. Kuambil sarung, lalu menggunakannya untuk menutup mata dan telinga. Hingga akhirnya bisa tertidur.
Esok paginya, terdengar kabar kalau salah satu penghuni kamar di lorong bawah, jatuh sakit. Katanya, saat dia akan menutup jendela. Di depan wajahnya sudah ada sosok yang berdiri. Sosok itu adalah Kuntilanak yang biasa mengganggu kami.
Ada rasa lega sekaligus kasihan di dalam dada. Lega karena saatku menutup jendela tidak terjadi apa-apa. Kasihan, ternyata malah dia yang mendapatkan kejutan dari sosok itu.
Teman-teman kamarku masih belum juga kembali. Malam ini aku sudah berniat untuk tidak tidur di asrama. Lebih baik begadang main di warnet. Takut kalau kali ini aku yang ketiban sial, didatangi sosok itu.
*
"Eh Dan, lu tau gak kalau di samping GOR ada warnet baru?" tanya Robi, teman begadangku yang duduk di samping.
"Hah masa sih? Bukannya itu cuman buat nge-print atau ngetik doang?"
"Lah, gw kemaren maen di sana sama anak-anak. Ada DOTA-nya juga loh."
"Wuih," balasku sambil menatap layar komputer.
"Besok kita mau begadang di sana. Maen DOTA ampe subuh. Lu mau ikut gak?"
"Siapa aja?"
"Anak-anak lorong 6 sama 7."
"Boleh lah, ntar kabarin aja."
Kehadiran Warnet baru yang tak jauh dari Masjid Kampus, membuatku lebih sering melewati jalan pintas di belakang Guest House. Sehingga kejadian horor tidak bisa dihindari lagi. Bukan hanya aku saja. Bahkan teman-temanku pun merasakan gangguan dari penunggu pohon beringin itu.
BERSAMBUNG.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Horor Kampus
HorrorSebuah cerita yang diambil berdasarkan kisah nyata penulis. Menceritakan tentang pengalaman-pengalaman horor yang dialami penulis dan temannya. Selama menjalani masa perkuliahan di Kampus. Mulai dari pengalaman pertama timggal di Asrama Kampus, hing...