Aku berjalan mendekati kerumuman. Namun tak bisa melihat ke dalam kamar secara langsung, karena terlalu ramai. Hanya terdengar suara jeritan dari dalam kamar.
"Siapa yang kesurupan?" tanyaku.
"Si Gilang," sahut salah seorang dari kerumuman.
Gilang? Ah! Aku langsung malas mendengarnya. Soalnya ia memang suka mencari sensasi. Entah kali ini ia benar-benar kesurupan atau hanya pura-pura saja.
Aku pun kembali ke kamar, "Ada apa, Dan?" tanya Abrar.
"Ada yang kesurupan di lorong empat."
"Oh. Perasaan semakin horor aja ini Asrama."
"Iya. Udah di Asrama A ada Pocong Keliling. Sekarang di Asrama C ada yang kesurupan."
"Lu kan sering balik tengah malem. Ati-ati aja, Dan."
"Santai." Padahal hati ini sebenarnya takut.
__________
Kejadian-kejadian horor mulai terjadi di Asrama C. Kali ini ada seseorang yang melihat Kuntilanak di tempat jemuran. Ditambah, menyebarnya foto yang diduga penampakan Surti di lorong 3 — tepat di bawah lorongku.
"Kagak keliatan ah," ucapku saat melihat fotonya.
"Ini loh! Ada tangan!" Pak RT — pemimpin lorongku tetap ngotot kalau itu adalah tangan Surti. Namun aku merasa itu bukan foto penampakan. Entah memang kebetulan saja terlihat seperti tangan.
Aku berjalan ke lorong tujuh, bertemu dengan anak-anak gamer. Kami pun membicarakan hal yang akhir-akhir ini terjadi di Asrama. "Gua pernah pas abis jemur pakaian, lewat tangga pojok deket kamar lu, Dan," ucap Jupri.
"Padahal waktu itu masih pagi. Sekitar jam sembilanan. Tapi gak tau kenapa, gua kaya orang linglung gitu. Naek turun tangga gak jelas. Asli dah!" imbuhnya.
"Mungkin lu lagi banyak pikiran kaki, Jup," sahutku.
"Kagak ah. Emang tangga itu horor aja."
Pintu ke area jemuran memang berada di samping tangga. Kalau malam, pintu itu menambah kesan horor. Pernah ada yang mendengar suara ketukan saat malam. Padahal setiap menjelang magrib, pintu selalu dikunci.
"Malam ini kita maen, gak?" tanyaku.
"Jangan dulu deh. Masih rawan," sahut Robi.
"Kalau mau, maennya jangan ampe pagi. Jam sembilan kita balik," usul Ryo.
"Nanggung banget tapinya," sahutku.
"Makanya."
Akhirnya aku pergi bermain sendiri. Tidak ke warnet yang berada di GOR, melainkan ke warnet di jalan Duta. Sekitar pukul sebelas malam baru kembali ke asrama.
Kali ini melalui jalan gelap di Fahutan. Seperti biasa, sebelum melangkah ke jalan itu, aku berdoa terlebih dahulu. Semoga kali ini tidak ada gangguan.
Berjalan dengan mata setengah terbuka merupakan salah satu solusi terbaik. Tidak lupa dengan sedikit menundukan kepala.
Srek! Srek!
Tepat di tengah-tengah, aku mendengar ada suara langkah kaki di belakang. Seketika itu, jantung langsung berdetak kencang. Lalu, mempercepat langkah.
Namun, suara itu terus mengikuti hingga aku tiba di ujung jalan. Aku pun menoleh dengan cepat ke belakang. Ternyata ada seorang mahasiswa sedang berjalan sambil membawa tas. Fiuh! Napas ini langsung lega. Setidaknya aku ada temannya.
Seperti biasa, aku masuk melalui sela-sela pagar kawat di area jemuran Asrama A. Kali ini, tidak berani menoleh ke arah deretan pohon pisang.
Sesampainya di kamar, terlihat Abrar sedang mengerjakan tugas. "Dari sore, baru balik," omelnya.
"Biasalah, Brar," sahutku, seraya mengambil sabun cuci muka.
"Tadi ada kejadian heboh."
"Si Gilang kesurupan lagi?" tanyaku.
"Bukan. Kejadiannya di kamar bawah."
"Kamar siapa?"
"Herlin."
Kamar Herlin berada tepat di samping tangga. "Ada apaan emang?"
"Si Surti nampakin diri."
"Seriusan?"
"Iya."
"Terus gimana ceritanya?"
"Besok pagi aja."
"Oke."
Keesokan paginya, aku sudah menagih janji Abrar. Ia pun menceritakan semuanya. Berawal dari acara belajar bersama di kamar 141. Mereka berlajar sampai menjelang magrib. Tentunya dengan jendela terbuka lebar.
Faiz — salah satu dari mereka, berinisiatif untuk menutup jendela. Namun tanpa diduga, Surti sudah menunggunya. Hingga wajah mereka pun saling berhadapan.
Tubuh Faiz seperti membeku melihat wajah Surti yang begitu menakutkan. Mulutnya tak dapat bergerak. Saat adzan magrib berkumandang, Surti pun menghilang. Seketika itu, tubuh Faiz roboh, terduduk di lantai dengan wajah pucat.
Saat ditanya ada apa, Faiz hanya terdiam. Ia baru bisa berbicara setelah diberi air minum. "Terus gimana keadaannya sekarang?" tanyaku.
"Gua denger sih, sekarang dia sakit. Badannya demam."
"Wajar sih. Ketemu Face to Face gitu. Pasti syok berat."
Aku bangkit dari duduk. Kemudian mengambil dompet di atas kasur. "Gua sarapan dulu ya, Brar," ucapku.
"Oke, Dan."
___________
Pukul dua sore, aku pergi ke kampus. Ada jadwal praktikum Biologi. Letak laboratorium Biologi sangat dekat dengan jalan Fahutan yang biasa aku lalui saat malam.
Bisa juga melewati jalan setapak di depan Gymnasium. Namun, harus melewati barisan pepohonan dan menara air yang konon katanya angker.
Awalnya aku tak percaya dengan keangkerannya itu. Namun, setelah melihat sosok penunggu menara air. Aku pun percaya.
Sore itu, langit terlihat mendung. Aku bersama beberapa temanku berjalan dari Asrama menuju Laboratorium Biologi. Sesampainya di gedung Fakultas MIPA, kami langsung menaiki tangga. Ya, Lab-nya ada di lantai dua. Jika berdiri di depan Lab, aku bisa melihat dengan jelas puncak menara air.
Praktikum yang seharusnya selesai jam lima sore, ternyata molor hingga pukul setengah enam. Sementara itu, langit sudah semakin gelap. Rintik hujan belum reda juga. Aku berdiri di dekat pintu Lab, sambil memegang pagar pembatas.
Ada sebuah daya magnet yang menarikku untuk melihat ke menara air. Tentunya itu berasal dari sosok yang sedang berada di puncak menara air.
Seorang wanita yang mengenakan gaun berwarna putih. Ia menatap ke arahku. Kemudian, menundukan pandangan. Tak lama kemudian, ia melompat ke bawah. Spontan aku langsung membalikan badan, lalu bergegas turun ke bawah.
"Napa lu, Dan," tegur Randi yang sedang menuruni tangga.
"Kagak. Eh lu mau ke mana?"
"Mau ke Duta, terus makan."
"Gua ikut ah."
Kebetulan Randi juga tinggal di Asrama C. Bahkan kamarnya tidak begitu jauh denganku. Setidaknya, nanti pas pulang, ada temannya.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Horor Kampus
HorrorSebuah cerita yang diambil berdasarkan kisah nyata penulis. Menceritakan tentang pengalaman-pengalaman horor yang dialami penulis dan temannya. Selama menjalani masa perkuliahan di Kampus. Mulai dari pengalaman pertama timggal di Asrama Kampus, hing...