Hari semakin gelap, langit yang tertutup oleh awan itu nampaknya akan segera menurunkan air hujan. Bella bingung, sedari tadi dirinya hanya menyusuri jalanan saja. Sesekali dia berhenti, untuk menghilangkan rasa capek.
Bella tidak ingin pulang ke rumah.
Rumah yang katanya tempat untuk berpulang, tapi nyatanya rumahnya tidak seperti itu. Yang ada, rumahnya hanyalah tempat yang paling sering membuatnya menangis.
Dia tidak punya tempat untuk bercerita sekarang, kedua temannya sedari tadi tidak bisa di hubungi. Farrel? Cowok itu sedang marah kepadanya tanpa alasan yang jelas. Jadi, sekarang dia harus mengadu dan bercerita ke siapa?
Bella hanya ingin punya tempat untuk bercerita, seseorang yang mendengarkan setiap keluh kesahnya. Sedari dulu dia selalu memendam masalahnya sendiri, bertahun-tahun lamanya berteman dengan Liora dan Sasha itu tidak bisa membuatnya terbuka kepada mereka. Dia hanya takut, temannya hanya ingin tahu saja tidak benar-benar peduli. Dan nantinya malah berdampak dengan aibnya yang di buka.
Sejauh ini tempat yang paling aman dan nyaman untuk dia bercerita hanya buku Diary. Sepanjang waktu, buku Diary lah yang selalu menemaninya setiap dia mempunyai masalah apapun itu.
Bella menengadahkan wajahnya, merasakan setetes air hujan yang mengenai permukaan wajahnya yang cantik itu.
"Gini amat jadi gue, bisa nggak sih tukar nasib?" Monolognya.
"Kalau bisa, gue mau punya papa yang baik, yang sayang sama gue, nggak kayak papa Wisnu"
"Gak papa jadi anak angkat, asal papa angkatnya Raffi Ahmad, biar jadi anak sultan"
"Enak kali ya, jadi anaknya Raffi Ahmad. Mau apa-apa tinggal bilang, mau ini itu langsung di turutin, nggak kayak gue walaupun punya papa kaya raya tapi pelitnya naujubillah!"
Bella terkekeh sendiri dengan perkataannya barusan yang tidak masuk akal, tapi gak papa ucapan itu adalah doa. Siapa tau langsung di ijabah sama Allah.
Bella membuka matanya ketika tidak lagi merasakan air hujan yang membasahi wajahnya. Sontak, Bella kaget. Yang pertama kali ia lihat adalah jaket kulit milik seseorang berada di atas wajahnya yang sedang menengadah ke atas langit.
"Devan?"
"Kenapa hujan-hujanan hmm?" Devan menatap mata Bella.
Bella yang tubuhnya lebih pendek dari Devan, harus sedikit mendongakkan kepalanya. "Mau aja"
"Pliss, kali ini aja jawab yang bener" greget Devan.
Bella menyingkirkan jaket Devan di atas kepalanya, percuma saja dirinya sudah basah. Mengapa harus di payungi dengan jaket?
"Gue mau main hujan," ucap Bella singkat.
"Bel, nanti lo sakit. Jangan bikin orang lain cemas, terlebih orang tua lo"
Bella tertawa hambar "orang tua? Hmm, santai aja mereka nggak akan pernah cemas walau gue mati sekalipun!" bohong, kalau dirinya tidak sakit saat mengatakan itu semua.
Devan tidak mengerti, apa yang Bella bicarakan. Orang tuanya tidak akan cemas? Mana ada orang tua yang seperti itu. Sejahat-jahatnya orang tua pasti akan cemas kalau anaknya kenapa-kenapa.
"Nggak boleh ngomong gitu, nggak ada orang tua yang nggak cemas kalau anaknya kenapa-kenapa"
"Buktinya seperti itu, mereka nggak akan pernah cemas. Malah papa gue nyuruh gue istirahat selamanya" ucap Bella di akhiri dengan tawa.
"Gue tau lo lagi nangis, nggak usah pura-pura kuat dengan lo tertawa palsu seperti itu" Devan langsung menarik tubuh Bella ke dalam pelukannya.
Pelukan di bawah derasnya air hujan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANNABELLA
Fiksi RemajaIni bukanlah kisah laki-laki berwatak dingin, ketua geng motor ataupun ketua osis. Ini hanyalah kisah Annabella Cassandra, seorang gadis cuek dan galak yang tiba-tiba mencintai sosok laki-laki yang memiliki senyum manis dengan sifat yang menyebalka...