Bagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rendra
Satu ..., dua ..., tiga ....
Saya menghitung, memandang kosong butir-butir pil berbeda ukuran dan warna yang dikeluarkan dari kotak-kotak kecil transparan bertuliskan nama-nama hari. Satu per satu, saya kemudian menelannya dengan bantuan air. Beberapa memang akan menyisakan getir yang tidak menyenangkan di pangkal lidah, layaknya perayaan hidup yang tidak biasa.
Tubuh ini lalu memilih bersandar lemas pada punggung kursi kerja, melepas tegang di sekujur pundak dan leher. Cukup sudah saya menghakimi diri sendiri di depan dokumen yang terpajang pada layar selama dua jam lebih. Selama itu pula, mata saya hanya mengeja tiap baris kata, mencari-cari "dosa-dosa" yang mungkin berserak dalam kumpulan alinea dan frasa.
Tatkala tengah sibuk memijat ringan sebelah pelipis, sebentuk eongan sontak menarik atensi. Si gendut berbulu putih yang sedari tadi tertidur di sudut ruang sudah terbangun rupanya. Ia pun menghampiri saya. Ketika ia berputar girang di dekat kaki, tawa ringan saya pun dibuat meluncur karenanya. Dan seperti biasa, kesayangan saya itu selalu punya cara untuk minta dimanja. Dengan senang hati, saya meladeninya, memberi usapan kepala.
"Mas."
Tak lama, suara ketukan pintu kamar dan panggilan itu terdengar bersamaan. Saya lantas berseru dari dalam, menyilakan orang itu untuk masuk.
"Ada apa, Pras?" sapa saya ketika lelaki yang mengenakan kaus lengan panjang warna hitam polos itu mendekat ke arah meja kerja.
"Tadi sore ada paket, nih. Dari Harsya."
Pras, adik saya satu-satunya itu, menyodorkan bungkusan kardus yang tidak begitu besar. Hanya segenggaman tangan. Ia sempat menyebut nama Harsya, teman lama kami dari Kota Gudeg.
"Apa, nih? Kok tiba-tiba?" tanya saya dengan kening berkerut.
Memang tidak biasanya. Harsya, si pemilik salah satu kedai kopi besar di Jogja itu, mengirimkan sesuatu ke rumah. Pras kemudian hanya tampak mengangkat kedua bahu, tanda kurang tahu.
"Dia bilang, sudah dari dua minggu lalu dia beli itu waktu ke pergi Turki buat kompetisi barista. Cuma baru sempat dikirim ke sini sekarang," jelas Pras, "katanya pas lihat itu, dia ingat Mas Rendra."
Penasaran, saya pun dengan gegas membuka bungkusan paket dari Harsya. Sementara, Pras dan si gendut putih kini memilih bermain berdua.
"Oalah," tukas saya spontan ketika bungkusan paket terbuka.
Senyuman ini pun tak kuasa tertahan. Dengan antusias, saya kemudian buru-buru menunjukkannya pada Pras.
"Kebetulan sekali Mas memang belum punya yang edisi bahasa Turki," ungkap saya senang.
Adik saya itu sedikit mengerutkan kening, sebelum akhirnya tertawa ringan dan bertanya, "Memangnya Mas bisa bahasa Turki?"
"Pakai ditanya lagi," ucap saya seraya melempar asal bekas bungkusan paket ke arah Pras. Anak itu kemudian hanya kembali tertawa lepas seraya mengelak.