8. Tentang Firasat

1.1K 122 72
                                    

Rendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rendra

Dari balik kaca-kaca besar di ruang depan, saya menatap kosong bangunan Paviliun Langit. Malam kian larut, tetapi raga ini belum memutuskan untuk terlelap. Kabut-kabut tipis tampak mengapung di sekitaran bangunan gaya modern berbentuk mirip kubus itu, terbias cahaya lampu-lampu taman yang temaram. Di antara deru hawa dingin malam yang telah merasuk ke dalam ruang, ingatan saya melayang pada sore di taman depan Pelataran Langit.

Sandhya, dari lengkapnya Sandhyakala. Dirimu, penghuni baru paviliun seberang, punya nama indah yang mengingatkan saya dengan nama pavilun yang saya tempati ini. Tidak hanya sebatas itu, sesuatu yang saya rasa sangat familier telah saya dapati darimu pada pertemuan pertama kita.

Garis-garis rupamu, saya seakan tidak asing dengan semua itu, menyergap saya begitu cepat dalam fragmen yang pernah eksis di masa lalu. Akrab sekaligus acak. Namun, saya tidak yakin yang mana dan siapa.

Ah, mungkin saya hanya salah mengartikan firasat ini. Saya kembali membujuk diri untuk tidak termakan prasangka-prasangka aneh sembari masih menatap sendu kaca-kaca jendela besar Paviliun Langit yang kini sudah seutuhnya tertutup tirai-tirai berwarna cokelat lembut.

Sayang sekali, tadi sore saya tidak sempat berbincang terlalu lama denganmu. Rasa nyeri di dada dan pusing yang mendadak menghantam kepala, memaksa saya untuk buru-buru undur diri. Kelakuan saya tadi, mungkin akan membuatmu berprasangka kalau saya ini orang yang tidak ramah dan tidak bersahabat. Tapi tak apa, itu lebih baik ketimbang dirimu tiba-tiba harus melihat saya yang pingsan di sana. Jelas akan sangat tidak lucu, Sandhya.

Tak berselang lama, usapan dari sebentuk tubuh mungil penuh bulu putih bersih itu, membuyarkan lamunan saya. Kesayangan saya sudah merapat manja di kaki, menempelkan aroma kepemilikan di tubuh saya. Saya pun menunduk seraya mengusap singkat kepala mungilnya.

"Iya, iya. Sebentar lagi saya tidur."

Hanya itu yang saya katakan padanya ketika eongan—yang terdengar seperti alarm pengingat itu—terdengar. Langkah kaki kemudian beranjak dari depan dinding kaca, diekori oleh si kucing. Dia memang biasa seperti itu, seringnya menemani saya melewati malam bersama.

Baru saja hendak meninggalkan ruang depan paviliun dan menuju kamar, seperti tadi sore, rasa tidak nyaman itu perlahan mulai mengganggu saya lagi. Jemari ini refleks mengurut dada saat sesak perlahan terasa. Langkah saya otomatis melambat. Saya berusaha tetap tenang dan mengatur napas meski beberapa kali sempat terbatuk keras.

Sembari sebelah telapak tangan menyusur tembok, saya berusaha tetap menyeret langkah meski berat. Pusing berputar di kepala, sempat membuat saya serasa akan kehilangan keseimbangan. Sungguh, saya hanya ingin sampai di atas kasur dan berbaring. Ketika saya merasa sudah cukup kepayahan untuk menopang tubuh, sebentuk lengan segera saja merangkul bahu ini, memberi kekuatan tambahan.

"Mas Rendra."

Saking intensnya derita merayapi tubuh ini, saya sampai tidak sadar kalau Pras—adik saya—sudah membuka pintu dan masuk ke dalam paviliun. Tangan hangatnya seketika sudah menopang sebelah lengan saya.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang