16. Tentang Hujan dan Permintaan

775 106 40
                                    

Rendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rendra

"Mas Rendra suka awan, 'kan? Karena saya sering lihat Mas Rendra melukis awan di sana."

Sesuatu yang berdetak di dada, kini mulai terasa lepas kendali saat saya memikirkan pengakuanmu yang begitu jujur. Semacam debaran yang tidak bisa diajak kompromi belakangan ini. Ada perasaan indah yang tak mampu saya jelaskan ketika waktu itu menangkap isyarat manis dari kalimatmu. Apa artinya dirimu telah mengingat satu hal kecil tentang saya, Sandhya? Jujur saya tidak berani berharap banyak.

Hari ini kita akan bicara apa saja?

Seraya mata masih memandangi bangunan paviliun di seberang, batin ini kembali berbisik spontan. Tanpa tabung oksigen, tanpa slang di hidung, perlahan saya menghirup lagi udara dataran tinggi yang selalu terasa sangat tipis di paru-paru yang sudah abnormal ini. Sesekali, saya pejamkan mata. Dan akhirnya, di antara renungan pagi yang kembali hadir dalam sunyi, wajahmu terbayang di sana, Sandhyakala.

Saya harap percakapan kita di hari ini akan jadi lebih panjang daripada malam itu.

Senyuman sempat mengembang di bibir, tetapi dengan cepat pula terasa pudar. Belum sampai saya diizinkan berlama-lama memandangi paviliun hangatmu di tengah lambaian kabut, dingin udara pagi dan angin yang beku sudah lebih dulu mengusik rongga dada ini. Seakan syal biru tua yang melingkar di leher dan pakaian hangat yang melekat, tak cukup untuk membuat tubuh bertahan barang sebentar lagi.

Batuk yang spontan muncul dan tarikan napas yang terasa agak berat segera mengaburkan keinginan saya untuk tetap tinggal di teras. Nyeri samar di rongga dada, layaknya pengingat jika saya seharusnya tidak berharap muluk-muluk untuk lebih jauh memasuki duniamu. Laki-laki seperti saya ini seharusnya lebih sadar posisi, bukan?

-:-:-

"Mas Rendra, ingat ya jangan sampai—"

"Iya, Pras. Mas paham. Sudah berapa juta kali kamu selalu ngomong hal yang sama. Mas juga belum pikun, kok," potong saya saat Pras hendak membeberkan kembali ceramah wajib yang sudah saya hafal di luar kepala.

"Mas paham. Kalau sudah terasa capek, Mas pasti berhenti. Sudah kamu tenang saja,"

Saya kemudian merebut lagi keranjang berisi tumpukan sprei dan cover blanket kotor dari tangan Pras dan segera membawanya ke depan mesin cuci di sebelah toilet.

"Mas masih bisa kerjakan beberapa yang ringan-ringan. Kamu nggak perlu panik begitu."

Sekali lagi, saya berusaha meyakinkan Pras yang masih mengekor dengan tampang ragu. Saya lalu memasukkan satu per satu seperangkat sprei dan cover blanket ke dalam lubang mesin.

"Ya, tapi aku juga bisa bantu—"

"Kamu mau Mas jadi resisten? Kamu mau lama-lama otot-otot di badan Mas jadi lemah lalu atrofi karena terlalu lama tidak dibuat aktivitas?"

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang