30. Tentang Bayangmu

772 113 47
                                    

Rendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rendra

Detik di mana sosokmu menghilang dari pandangan saya, adalah saat ruang di dada ini terasa sesak dengan lara. Seraya masih terpaku melihat mobil yang kamu tumpangi lesap di ujung jalan, jemari saya menyentuh syal hitam tebal yang melingkar di leher. Benda milikmu itu meninggalkan hangat jejak sentuhan dan wangi lembutmu, terasa begitu dekat dengan urat leher saya—tempat di mana denyut kehidupan berdenyar paling kencang di sana. Saat itu, sampai selamanya, saya tidak akan melupa jika pertemuan kita memang nyata, Sandhya.

Kembali, saya akhirnya melepas sebentuk hati yang telah menyambut saya dengan begitu hangat. Bukan berarti kamu tidak tulus, tapi ini hanya tentang saya yang tidak ingin egois menyita kehidupanmu yang berharga itu, Sandhya. Dan lalu, hari-hari saya di sini terasa semakin lambat. Semua kembali terasa seperti sebelum presensimu mengisi sebuah tempat di seberang kediaman kecil saya—Paviliun Langit.

Pagi atau malam, saya kerap duduk termenung di teras mungil Paviliun Senja, ditemani lambaian kabut dan dipeluk udara dingin yang tak jarang akan terasa menyesakkan. Tidak ada yang saya lakukan untuk beberapa jenak, hanya menatap kosong paviliun seberang yang pernah kamu tempati. Pada akhirnya, saya tidak lagi mendapati seberkas kehangatan yang selalu mengisi ruang-ruang kecil bangunan modern minimalis itu. Hampa.

"Cirrus, kamu cari siapa? Dia sudah nggak ada di sana," ucap saya kala itu pada si Putih Kesayangan Saya yang memang namanya persis seperti awan yang paling saya sukai. Nama yang tidak pernah kamu ketahui.

Kamu tahu, Sandhya? Cirrus nyatanya merasakan hal yang sama dengan apa yang Paviliun Langit rasakan. Dia merindukanmu, kehilangannmu. Pada beberapa malam, saya pernah menjumpainya menunggu di depan Paviliun Langit. Sesekali, dia mengeong, mencarimu.

Sandhya, perlu kamu tahu. Senjakala akhirnya tidak pernah berhenti bicara tentang penghujung jumpa kita. Kenangan ketika kamu berada begitu dekat dengan saya di sore itu, adalah yang paling saya ingat dalam memori ini. Wajah ayumu, senyummu yang kekanakkan, sikap hangatmu, ataupun tangis yang jatuh di pipimu, tampak begitu dekat dengan saya.

Pada waktu itu, seperti waktu pertama kali berkenalan denganmu, saya pun kembali merasa tidak asing denganmu. Entah mengapa, setiap melihat wajahmu akan mengingatkan saya pada seseorang dan satu titik di masa lalu yang saya tidak tahu siapa dan di mana. Sungguh, saya memang kerap merasa seperti sudah pernah bertemu denganmu di suatu masa. Namun akhirnya, saya simpan sendiri semua prasangka itu. Tidak pernah saya ceritakan padamu.

Tak berselang lama selepas kepergianmu, penghujan pun benar-benar tiba. Tanah Para Dewa sesak dengan awan-awan kelabu di angkasa. Bayangmu, Sandhyakala, menggantung di atas sana. Dan setiap kali tetes air langit ditakdirkan jatuh ke bumi, seolah tidak pernah berhenti bercerita perihal pertemuan pertama kita.

Nyeri di rongga dada, perih di kepala, sialnya semua jejak kenangan itu tidak ada habisnya mengeroyok saya. Jemawa di awal mungkin telah membuat saya akhirnya sengsara. Saya awalnya berpikir kalau saya tidak akan kalah dengan perasaan, tapi nyatanya saya justru ditawan kesedihan. Semakin melawan, semakin saya tertelan, dipermalukan.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang