7. Kali Pertama

917 114 62
                                    

"Duluan saja, Pras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Duluan saja, Pras. Mas lama jalannya."

Pras tidak menanggapi suruhan Rendra, tetap saja berjalan dengan tempo lambat dan menyesuaikan dengan langkah kakaknya. Kejadian di mobil tadi sudah cukup membuat ia jadi kelewat waspada, bahkan hingga mereka sudah tiba di rumah.

Sementara, dari sudut mata, Rendra masih bisa melihat bagaimana Pras tampak sangat hati-hati sekali berjaga-jaga di belakang, membuatnya agak risi. Dari sekitar dua belas anak tangga beton yang mengarah ke halaman depan Pelataran Langit, ia terlihat dua kali terhenti beberapa detik untuk mengatur napas yang hanya bisa pendek-pendek. Sudah seberat dan sepayah itu memang, Rendra kadang susah-payah harus mencoba berlapang dada untuk menerima kondisinya yang dari semenjak lima tahun lalu berubah kian teruk.

Sementara, Pras hanya mampu berusaha menguatkan mentalnya untuk tidak ikut jatuh. Tidak tega, hanya perasaan itu yang tersangkut di batin jika mengingat kalau daerah dataran tinggi seperti Dieng dan juga bentuk denah rumah mereka yang kurang bersahabat, sebetulnya bukanlah yang cocok untuk orang seperti Rendra. Inginnya ia memberikan fasilitas yang lebih baik untuk sang kakak, tapi mereka akhirnya juga tidak punya pilihan untuk hidup dengan cara begitu.

Saat mereka sudah sampai di taman depan Pelataran Langit, Rendra tidak langsung melanjutkan langkah ke paviliun. Ia memilih untuk duduk sebentar di deretan picnic table dekat pohon trembesi, mencoba mengatur napasnya yang masih agak terengah. Pras kemudian juga tampak mengambil tempat di sebelah sang kakak, menemani.

"Mas, sudah ketemu dengan penghuni paviliun yang baru?" tanya Pras setelah beberapa jenak direngkuh sunyi.

"Baru beberapa hari lalu datang, sih," tambah Pras, baru saja mengingat jika belum mengenalkan Rendra pada Sandhya.

"Belum," jawab Rendra singkat, dengan sejujurnya.

Sedikit pun, ia memang belum mengetahui wujud dan keberadaan si penghuni baru Paviliun Langit yang tinggal tepat di seberang Paviliun Senja itu. Dan lagi-lagi, Rendra kembali mengingat bagaimana dirinya selama beberapa hari ini, jarang sekali beranjak dari kamar ataupun kasurnya. Sesekali, memang ia akan melukis, tetapi seringnya tidak kuat bertahan lama-lama.

Kelelahan yang hampir tidak ada obatnya itu terus mengeroyok Rendra hingga ia hanya mampu menyerah dan lebih sering tergolek lemas di pembaringan. Rasa frustrasi serta ketidakberdayaan yang menyiksa, rentan membuatnya tertekan. Dan pada akhirnya, Rendra pun tak kuasa menahan puncak kekacauan itu semalam dan membuat Paviliun Senja hancur bak kapal pecah. Untungnya emosi itu tidak ia lampiaskan ketika Pras ada di dekatnya.

"Nanti aku kenalkan, ya, Mas. Orangnya supel dan baik," ungkap Pras, yang kemudian hanya ditanggapi oleh anggukan singkat dari Rendra.

Jeda sejenak, semilir angin sore dan kabut-kabut semakin terasa kian erat memeluk. Rendra kemudian tampak merapatkan risleting jaket putihnya yang sempat mengendur, hanya tidak ingin gigil menyerang.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang