Bagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rendra
"Dari awal saya lihat, saya selalu merasa kalau lukisan itu relate dengan kehidupan saya. Rasanya familier sekali."
"Lukisan itu sebenarnya bukan lukisan yang sekadar membuat saya setuju untuk bilang 'bagus', tapi lebih dari itu. Lukisan yang ada di sana itu lebih tepatnya sudah membuat saya 'merasakan'."
Kalimat penuh kesan yang saya dengar darimu kembali bergema dalam benak, membuat saya mengiyakannya berulang kali, digulung lara berulang kali. Tadi siang, ketika kamu kembali bekerja dan mengabiskan waktu di dekat saya, kamu seketika membuat saya tertegun dengan pengakuanmu Sandhya. Harus saya aku, diam-diam akhirnya saya pun tidak tahan untuk tidak curi-curi pandang ke arahmu. Diam-diam saya pun menantimu untuk membeberkan lebih lanjut tentang kesanmu pada lukisan awan dan jendela pesawat itu.
Saya sejenak memejamkan mata seraya jemari ini mengusap pelan dada yang kembali dihampiri sesak. Kalau boleh saya jujur, saya sesungguhnya juga merasa kalau lukisan itu pernah begitu dekat masa lalu saya dan harapan dari orang yang saya sayangi, Sandhya.
Tentang suratan ini, memang tidak mampu saya nafikan. Dirimu, Sandhyakala, harus saya akui sedari awal temu memang telah memantik sesuatu di dalam inti perasaan ini. Lagi-lagi, selalu saja ada hal-hal yang terasa simpatik dari dirimu. Kamu yang saya rasa tak asing semenjak perkenalan pertama. Kamu yang ternyata adalah kolega sekaligus tetangga baru saya. Kamu yang ternyata menyukai sajak dan karya-karya Cirrus.
Saya bahkan kian dibuat terkesima ketika tahu jika ternyata kamu sudah lama menikmati karya-karya Cirrus dari semenjak ia masih menulis di blog. Kamu harus tahu bagaimana saya berusaha menahan tawa dan senyum itu agar tidak terlontar terang-terangan ketika kamu mengakuinya dengan antusias. Sungguh, Sandhya. Saya tidak pernah merasa berusaha sekeras itu untuk tetap dalam kendali, memendam berbagai ekspresi.
Dan satu hal penting lain, kamu akhirnya juga merasakan esensi dari lukisan berharga itu. Ah, di waktu lain, hal apa lagi yang akan menarik atensi ini pada dirimu?
Hari demi hari, harus saya akui, ada saja kebiasaan-kebiasaan kecil atau hal menarik yang akan saya ingat dari dirimu. Dari tempat duduk yang biasa saya tempati di sebelah jendela, saya akan kerap melihatmu memesan menu kopi seduh manual pada Pras. Lalu, dirimu akan memilih tempat duduk yang juga tidak jauh-jauh dari jendela kafe yang ada di sisi lain—yang untungnya—sisi itu adalah sisi di mana saya diam-diam masih bisa melihat wajahmu sesekali.
ketika gugup, kamu cenderung melakukan gestur tertentu, seperti menyelipkan helai-helai rambut lembut potongan bob-mu ke belakang telinga. Kamu senang membawa buku-buku fiksi untuk selingan perkerjaan. Dan sebentuk tahi lalat kecil di bawah dekat ekor matamu, adalah ciri khas rupa yang mungkin akan sulit saya lupa, tampak serasi dengan wajah ovalmu yang bersih merona.
Selama beberapa hari ini, saya juga tahu kalau diri ini adalah yang sedang bermain halus dengan atensi, sementara kamu adalah yang lebih sering tertangkap basah duluan. Kadang ada waktu-waktu di mana saya tidak mampu menahan senyum dan tawa pelan tatkala mendapati kamu yang diam-diam suka curi-curi pandang ke arah saya. Sungguh, saya tahu itu, Sandhya.
Bukannya bermaksud untuk gedhe rumongso, tapi beberapa tanya itu akhirnya selalu terlontar spontan dalam benak. Apa sebenarnya yang kamu pikirkan tentang rekan kerja barumu ini, Sandhya? Adakah hal dari diri saya yang juga mengundang rasa ingin tahumu dan menarik simpatimu?
-:-:-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.