Bagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rendra
"Ini namanya Pras. Abi mau kan jadi kakaknya Pras?"
Pras, nama itu kembali terdengar bergaung di telinga ketika saya melihat diri saya yang saat itu bahkan belum menginjak usia empat tahun, tampak tengah menilik penasaran pada sosok mungil dalam gendonganayah. Pipi bulat bersih yang bersemu merah, wajah dan hidung mungil, bibir yang kadang menggumam kecil dengan suara menggemaskan, Pras yang dikenalkan Ayah adalah sosok adik baru yang tidak pernah sekali pun saya sangka akan datang secara tiba-tiba.
Ketika jemari kecil saya mencoba menyentuh tubuh mungil yang masih terbungkus hangat dalam kain lembut, jemari Pras perlahan menggapai keluar. Secara tidak sadar ia lalu menggenggam telunjuk saya. Terasa hangat dan murni. Itu adalah tanda perkenalan kami yang pertama, yang takkan pernah saya lupa.
"Abi, harus sayang sama Pras, ya?"
"Mulai sekarang, Abi kakaknya Pras."
Hidup sebagai anak tunggal yang terbiasa kesepian, jelas membuat saya senang ketika kedatangan anggota keluarga baru yang saya sebut dengan 'adik' itu. Asumsi saya sebagai seorang bocah 4 tahun hanyalah berbahagia karena punya teman baru. Dengan begitu terbuka dan tanpa tahu perihal kisah kelam nan pedih yang ada di baliknya, saya menerima Pras dalam kehidupan saya.
Lagi, saya kembali melihat kabut kenangan yang samar tampak silih berganti. Lompatan-lompatan masa dan tahun-tahun yang telah kami lalui bersama pun berkelebat dalam memori. Yang saya lihat pada waktu itu hanyalah gambaran keluarga bahagia yang jauh dari konflik, hingga akhirnya hari-hari penuh pertengkaran antara Ibu dan Ayah kian tampak di depan mata.
Suara-suara mereka yang berteriak pada satu sama lain terdengar tumpang tindih. Tidak begitu jelas, tetapi terasa menyesakkan dada. Dan akhirnya, bayang kelabu kembali memenuhi pandangan saya. Saya melihat diri saya yang akhirnya berada dalam rangkulan Ibu, sementara Pras berada jauh di sana dalam rangkulan Ayah. Kami adalah yang dipisah jarak dan jauhnya perasaan. Kala itu, akhirnya saya tahu jika semua yang telah dibangun dalam keluarga kami telah rusak, terbelah dua. Ayah pun tak mampu lagi menyembunyikan segalanya dari kami.
Ketika saya mencoba menggapai yang tersisa, semua justru tak bisa digenggam. Semua pudar seperti lambaian kabut yang perlahan penyap di udara. Dan seketika, tubuh ini telah berada dalam sebuah situasi yang sama sekali berbeda.
Saya melihat Ayah sudah ada di samping saya. Ia tersenyum dan merangkul pundak saya. Saat saya menoleh ke sebelah kiri, Pras ternyata juga sudah ada di sana. Ayah kemudian merangkul kami berbarengan. Seperti waktu itu, Ayah membawa kami masuk ke dalam sebuah gedung pertunjukkan yang dulu pernah jadi tempat pertunjukan wayang.
Kala itu, saya termenung di sana. Ayah tampak menatap saya dalam pandangan sabar dan penuh makna. Sebelum akhirnya semua tampak kembali samar dan tertutup cahaya putih, hangat dekap Ayah merengkuh tubuh saya. Dalam detik yang seolah membeku di sekeliling kami, saya lalu mendengar ayah terisak sendu.