PROLOGUE

63.7K 6.7K 954
                                    

Untuk sebagian orang, kesedihan adalah sebuah hal yang tabu dan menangis adalah hal memalukan yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Mengapa? Mengapa orang-orang terlalu otoriter pada perasaan orang lain? Dan mengapa Lestari menjadi sama kerasnya kepada dirinya sendiri?

Setelah menarik napas panjang yang berat, gadis itu menutup buku berjudul Narasi 2021 dalam pangkuannya dengan bola mata yang terlihat menerawang pada halaman rumahnya. Beranda rumah ini telah memberi ruang baginya untuk menelaah semua pemikiran yang Adinata sampaikan pada buku yang ia tulis. Anak itu telah berdamai dengan luka-lukanya. Bagus lah, setidaknya Lestari tidak akan lagi melihatnya duduk lesu di pojok ruang sekretariat karena memikirkan alur seperti apa yang harus ia tulis di bab barunya. Karena tidak bisa dipungkiri, Lestari selalu memperhatikan bagaimana seorang Adinata ketika sedang sibuk dengan dunianya. Anak itu akan menjadi jauh lebih pendiam dari biasanya. Dan kalau sudah begitu, tidak akan ada seorang pun yang berani untuk mengganggunya.

Lestari bahkan baru tahu bahwa seseorang yang ia kagumi selama ini adalah penulis buku favoritnya, Sunflowers. Seorang penulis yang ia cintai semua tulisannya karena apa yang Sunflowers tulis benar-benar mampu mewakili bagaimana dirinya selama ini. Melalui buku yang ia tulis, Adinata seolah menyediakan ruang agar Lestari bisa sedikit mengeluh, meratap, menangis. Dia memberi pemahaman yang tidak pernah gadis itu dapatkan dari orang-orang di sekelilingnya. Buku yang ia tulis adalah teman bagi jiwa-jiwa lara. Jiwa yang kehilangan kompas dan tidak tahu arah mana yang tepat untuk berlabuh.

Sore ini, suasana masih sama seperti kemarin sore--mendung disertai gerimis yang dingin. Beranda rumah ini masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Yang berbeda mungkin hanya keramaiannya. Dulu, beranda ini menyimpan banyak sekali dialog dan tawa, namun kini segala keramaiannya hanya tersimpan dalam kepala gadis itu. Menggaung hingga penuh, sesak, dan terus berdesakan seolah tak memiliki jalan keluar.

Halaman rumah Lestari nampak basah, begitu juga bunga-bunga hortensia yang selalu ia rawat dengan penuh kasih. Bulan ini sebagian kuncup bunganya mulai mekar, mulai dari warna putih sampai warna merah. Butuh waktu lama untuk membuat bunga-bunga itu tumbuh rindang memenuhi halaman rumahnya yang semula gersang. Hari ini, gerimis membasahi setiap kelopaknya seperti seorang musafir yang terlalu lama menahan dahaga.

"Seumpama bunga-bunga itu bisa dimakan, kayaknya enak ya?"

Lalu dialog itu muncul lagi dalam kepalanya, dan bayangan dari hari-hari asing itu datang kembali--seolah berteduh setiap kali gerimis atau hujan mulai mengguyur daratan. Jika situasi ini datang lagi, Lestari selalu penasaran, bagaimana Adinata bisa berdamai dengan hal sulit yang menimpanya selama ini? Apa saja yang sudah pemuda itu lakukan sampai akhirnya dia bisa mengobati semua lukanya dan kembali sembuh seperti sedia kala?

Andhika Sastra Gautama, Lestari tahu seberapa penting laki-laki itu dalam hidup Adinata. Setidaknya sebagai teman yang baik, wajar jika dia memang tahu. Bang Sastra adalah senior yang selalu dielu-elukan oleh banyak junior, tidak peduli dari jurusan mana pun. Dia pemuda dengan tutur kata yang hangat, mudah bergaul dan selalu lihai dalam melakukan berbagai macam kebaikan. Lestari bahkan masih ingat dengan sangat jelas ketika pemuda itu membelikannya makanan ketika dia tidak punya uang sepeser pun saat masih menjadi mahasiswa baru. Mereka tidak saling mengenal, tapi Sastra adalah orang asing yang rela mengeluarkan uangnya agar Lestari bisa makan malam. Maklum, perekonomiannya benar-benar sulit saat itu. Jadi sejak saat itulah Lestari tahu betapa luar biasanya Bang Sastra.

Sementara Adinata, dia sama baiknya selama mereka berteman. Tapi sepertinya, hanya Lestari yang kelewat batas dalam hal menyukainya. Harusnya gadis itu menyukainya sebatas teman baik saja, tapi benar-benar diluar kendali saat dia mulai terhipnotis akan pesona laki-laki itu. Adinata adalah pemuda yang sederhana, dan justru dari kesederhanaan itulah yang membuat Lestari seperti tersihir. Gadis itu menyukainya tanpa jalan keluar.

Semester sudah berganti dan masa demisioner juga telah lama berlalu. Keduanya masih sering bertemu dan menyapa sebagaimana janji keduanya untuk berteman dengan baik. Tapi Lestari sadar, mengenyahkan perasaan terhadap Adinata tidak akan pernah semudah yang ia bayangkan. Terakhir yang ia dengar, laki-laki itu sudah putus dari Gayatri Mandanu. Harusnya Lestari bahagia, tapi ia selalu merasa sukar setiap kali Adinata memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan mata yang kosong.

Setelah masa jabatan itu usai, tidak ada lagi agenda panas-panasan di atas motor-sibuk cari promosi untuk acara-acara yang akan mereka gelar. Tidak ada kesempatan untuk duduk lagi di boncengan laki-laki itu-pergi dari satu tempat ke tempat demi proker yang mereka laksanakan. Kedekatan semu itu telah lama usai, dan Lestari harus benar-benar merelakan semua itu untuk kandas bahkan sebelum ia sempat memulai.

"Din, I know forgetting you will not be as fast as the first time I fell in love with you. But at least, I can say it sincerely, 'I'm a person who wishes your life to be happy ending. With or without me'." Di halaman terakhir buku yang ia baca, pada 1 lembar yang kosong, ia menuliskan perasaannya dengan bibir yang menipis.

Dengan tenang, ia akan mengakhiri cintanya yang tak berbalas.

***

Meant 2 Be✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang