Untuk waktu yang cukup lama, Lestari menarik napas panjang. Kedua tangannya tiba-tiba saja bergetar dan berkeringat, dadanya berdegup kencang dan perutnya terasa sangat mual. Sekujur tubuhnya terasa dingin, dan ia mulai ketakutan ketika membuka ingatan itu ladi dari dalam kepalanya. Sudah hampir 5 menit ia meremas tangannya sendiri, berusaha mencari jalan keluar dari betapa sesaknya ia sekarang. Lalu ia memejamkan mata, tepat ketika kedua tangannya mulai merasakan kehangatan dari genggaman tangan laki-laki di sampingnya.
"Lo harus tahu kalau untuk hal-hal yang nggak ingin lo lakukan, lo nggak harus memaksakan diri. Akan ada saatnya, Lestari, dan mungkin itu bukan sekarang." papar Adinata. Dia tahu bahwa Lestari mulai tak bisa mengendalikan dirinya lagi. Wajahnya terlihat jauh lebih pias dari sebelumnya. Namun, pada akhirnya ia menemukan gadis itu tersenyum.
"Nggak, gue emang mau cerita itu sekarang." ucapnya. Walau pada detik berikutnya ia kembali terdiam dan menunduk begitu dalam. Di sampingnya, Adin tidak lagi mengeluarkan suara. Laki-laki itu hanya berdiam diri di sana, menggenggam jemarinya begitu hangat dan erat.
"Gue nggak begitu ingat kapan pertama kali gue denger itu, tapi kayaknya waktu gue kelas 8 SMP. Gue baru pulang sekolah waktu itu, dan gue lihat Ibu sama Ayah berantem. Sebenernya jauh sebelum hari itu pun gue udah sering banget lihat mereka cekcok, meskipun gue nggak tahu alasannya apa. Tapi hari itu, untuk pertama kalinga gue denger Ayah marah banget sama Ibu. Dia bilang, gue nggak seharusnya lahir." di akhir kalimat, Lestari terlihat semakin menunduk. IA hampir tidak menyangka bahwa saat ini ia sedang membuka kotak kelemahannya sendiri. DI depan laki-laki yang begitu ia inginkan.
Sebelum melanjutkan cerita, gadis itu menoleh ke samping. Ia menunggu sosok itu memberikan reaksi. Namun, lama ia menunggu, yang dapat ia temukan hanya tatapan Adin yang begitu dalam. Lestari tidak tahu makna seperti apa yang laki-laki itu simpan dalam sepasang matanya. Itu terlihat seperti telaga yang dipenuhi kabut, kelam dan begitu dingin.
"Sejak hari itu gue mulai bertanya-tanya, alasan apa sampai-sampai gue nggak seharunya ada di dunia ini. Apa yang bikin Ayah semarah itu sama Ibu. Sayangnya, gue masih terlalu muda waktu itu. Nggak banyak yang bisa gue lakukan, selain bersikap kalau gue nggak pernah dengar pertengkaran itu. Semenjak hari itu, Ayah nggak pernah pulang, dan orang-orang rumah mulai saling nggak peduli satu sama lain. Abang gue juga kayaknya cuma peduli sama kehidupan dia sendiri. 2 tahun setelah itu, Ayah menggugat cerai Ibu. Mereka pisah gitu aja tanpa menjelaskan ke gue alasan kenapa mereka harus selesai. Ibu mulai depresi, susah tidur sampai gerdnya makin parah. Setelah perceraian itu, Abang juga pergi dari rumah. Sampai hari ini gue bahkan nggak tahu dia kemana. Gue nggak yakin apakah dia tahu kalau ibu udah meninggal atau enggak."
"Lo nggak berusaha cari dia?" tanya Adin, membuat Lestari menoleh dengan tawa sumbang.
"Buat apa? Toh dari awal kehadiran dia nggak berguna. Dia pergi di saat Ibu butuh dukungan anak-anaknya, dia juga nggak ada sewaktu Ibu sakit. Menurut lo apa yang bisa gue harapkan dari dia?" sekali lagi, Lestari menghela napas panjang. Dadanya kembali terasa sakit, tapi tangan yang bertaut dengan jemarinya saat ini seolah tengah memberikan kekuatan.
"Gue pikir, saat-saat itu adalah fase kehidupan paling berat yang gue alami. Gue sendirian ngerawat Ibu, gue sekolah sambil kerja. Gue berusaha untuk terus baik-baik saja hanya supaya Ibu yakin kalau gue bisa diandalkan. Gue mau Ibu percaya, nggak apa-apa kalau pada akhirnya kami ditinggalkan sama orang-orang yang sebelumnya kami anggap penting. Gue selalu bilang sama Ibu, nggak apa-apa, karena ada gue. Semuanya akan berjalan dengan baik selama ada gue. Tapi kayaknya gue terlalu angkuh waktu itu, gue lupa kalau kenyataannya gue cuma anak SMA yang kemampuannya terbatas. Ibu mulai sakit parah, dan nggak ada pilihan buat gue selain pinjam duit ke bank. Gue menjaminkan apapun yang kami punya saat itu, termasuk tanah peninggalan nenek. Semuanya habis, dan seperti apa yang lo lihat sekarang, gue udah nggak punya apa-apa." pemaparan itu membuat Adinata tak berkutik. Ia terpaku, tubuhnya menegang dan sekujur tubuhnya terasa seperti terbakar. Dia tiba-tiba saja merasa marah, tapi detik berikutnya ia tersadar sebab ia tak memiliki hak untuk itu. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk Lestari saat ini selain dia dan mendengarkan cerita gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant 2 Be✔
Romansa[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA NARASI, 2021 Dulu, Lestari pikir bahwa dia adalah kelopak bunga dandelion yang terbang terbawa badai. Sejak muda, ia terbiasa melalang--menangkis segala macam cambukan hidup yang bisa saja meremukkan dirinya. Menginjak re...