Epilog: Rainbow Crepe Cake

21.3K 3.2K 474
                                    

Langit masih berwarna violet ketika Lestari melepas apron dan meninggalkan counter. Hari ini pekerjaannya double. Selain menjadi barista, dia juga harus mengisi panggung untuk live music. Masih seperti hari-hari biasanya, Javaniella selalu ramai. Kali ini yang lebih banyak terlihat adalah anak-anak SMA. Dari panggung tempat Lestari menyetel gitarnya, suara gelak tawa mereka terdengar renyah. Beberapa bahkan ada yang mengumpati teman mereka, lalu kembali tertawa terbahak-bahak. Mendengar itu, perasaan Lestari seketika menghangat. Entah kenapa, dia suka sekali melihat anak-anak SMA dan interaksi mereka. Mungkin karena dulu Lestari tidak bisa menikmati usia 18 tahun yang selalu disebut-sebut sebagai usia terbaik, dia sedikit cemburu.

Begitu suara senar gitarnya mulai kedengaran teratur, Lestari memetiknya perlahan-lahan. Sebuah instrumen minor yang hangat ketika matahari kembali pulang pada peraduan. Langit violet kini berubah merah, yang mana nyalanya terlihat seperti ingin membakar kota ini. Dalam permainan gitar itu, Lestari membawa dirinya untuk kembali menjelajahi masa lalu. Di ujung jalan yang gelap itu, ada sebuah kotak dengan berukuran besar--dan ia menyimpan semua duka laranya di sana.

Selalu ada alasan kenapa dia dilahirkan. Mungkin alasan yang biasa Lestari temui tak pernah luar biasa. Di suatu siang, di teras Indomaret yang sepi, ia pernah merelakan uang 100 ribunya untuk ia berikan kepada seorang ibu yang tengah kelaparan. Padahal, hanya ada uang itu di dalam dompetnya. Bisa jadi, untuk itulah ia dilahirkan.

Di suatu sore yang temaram, ketika ia dalam perjalanan pulang dari kampus, dia membeli sebuah tisu seharga 15 ribu--karena dia memang tidak memiliki tisu sama sekali di rumah. Tetapi, 15 ribu itu membuat si bapak penjual menengadahkan tangan--bersyukur sebab dagangannya ada yang beli setidaknya hanya satu. Bisa jadi, untuk itulah dia dilahirkan.

Terkadang, di saat-saat dirinya merasa hancur, Lestari selalu berpikir bahwa tidak ada kehidupan yang layak diperjuangkan. Tidak ada alasan untuknya terus melanjutkan hidup. Tetapi, Adinata pernah berkata padanya bahwa bisa jadi, ada begitu banyak orang yang mensyukuri kehadirannya tanpa ia ketahui. Ibu-ibu yang dia beri uang 100 ribu itu mungkin sangat berterima kasih karena dia telah menjadi satu dari sekian orang baik yang hidup di dunia ini. Bapak si penjual tisu juga mungkin bersyukur karena kalau bukan dia yang membeli dagangannya, mungkin sampai malam pun tisunya tidak akan laku. Tanpa Lestari sadari, mungkin apa yang dikatakan kekasihnya itu benar. Di saat ia membenci kehidupannya, akan selalu ada orang-orang yang bersyukur karena ia telah terlahir. Akan selalu ada orang yang berharap bahwa entah di belahan bumi mana, bisa hidup Lestari-Lestari lainnya.

Sesaat setelah menyelesaikan intro, Lestari mendongak. Di antara keramaian Javaniella, ia memperhatikan bagaimana pepohonan di sekitar cafe bergoyang dihembus angin. Melihat bagaimana sekelilingnya berjalan, Lestari membisu--nyaris tidak percaya bahwa dia mampu bertahan sampai hari ini. Lalu ia kembali memainkan sebuah lagu, masih dengan nada minor yang sama. Namun, sore itu, Lestari terpaksa menghentikan permainan gitarnya saat seorang pemuda jangkung duduk tanpa permisi di sebelahnya. Ia membawa gitarnya sendiri dan menyetelnya--masih tanpa permisi. Lestari baru saja hendak membuka suara ketika pemuda itu menurunkan tudung kepalanya dan menoleh dengan senyum tipis.

"Kamu?" Lestari terpaku. Dia sampai kehilangan banyak kosa kata di dalam kepalanya saat laki-laki di sebelahnya menyetel mic yang ada di hadapannya.

"Mbak Tari tahu intro lagu ini, kan?" tanyanya kemudian, dengan suara yang berat. Laki-laki jangkung itu memainkan sebuah intro yang familiar. Lestari sudah cukup sering memainkannya, jadi mustahil jika dia tidak tahu. Namun, belum sempat ia membalas, pemuda di sampingnya kembali bersuara. "Mas Nana bilang, Mbak Tari suka banget sama lagu ini."

Untuk kesekian kalinya, Lestari membisu. Dia benar-benar tidak menyangka saat adik bungsu kekasihnya itu datang ke tempat kerjanya. Tak cukup sampai di sana, anak itu bahkan duduk di panggung yang sama dengannya.

Meant 2 Be✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang