21. Penyesalan yang Menumpuk di Sudut Dada

17.4K 3.9K 942
                                    

Setibanya di rumah, Adinata memakirkan kendaraannya begitu saja di garasi. Jika biasanya dia akan menata kendaraannya dengan rapi, kali ini tidak. Dia bahkan masih membiarkan kunci motornya tertinggal di sana.

Mendengar keramaian masih terjadi di ruang tengah, laki-laki itu berderap. Apalagi saat ia masih mendengar suara gelak tawa dari si bungsu. Eros yang pertama kali menyadari keberadaan Adin nyaris saja menyeletuk.

"Masuk tuh salam--" Namun ucapannya terhenti saat adiknya itu berdiri persis di hadapan si bungsu, menatapnya dengan sorot mata penuh penghakiman. Akhirnya, Eros memilih bungkam. Dia, juga orang-orang yang ada di ruang tengah, menunggu Adinata untuk bicara.

"Apa keluarga ini membesarkan lo tanpa sopan santun?" adalah kalimat pertama yang dilontarkan oleh Adin, lengkap dengan deru napasnya yang naik turun tak beraturan. "Apa kami semua nggak pernah ngajarin lo caranya menghargai orang lain?!" pekik si nomor lima. Seolah kesabarannya habis tanpa sisa. Seolah sikapnya yang diam sejak tadi sudah sangat cukup.

Sementara Jaya, anak itu hanya menunduk. Dia seakan tahu bahwa inilah yang akan ia dapatkan begitu kakaknya itu pulang. Ada banyak argumen di dalam kepalanya, tapi entah kenapa tidak ada satu pun yang bisa keluar dari kerumitan itu.

"Nana! Duduk dulu dan bicara baik-baik." sergah Tama, karena pria itu juga belum beranjak dari sana. Sebelum Adin datang, dia sudah berniat untuk tidur, tapi menemukan adiknya itu sampai di rumah dengan napas yang memburu, pria itu urung meninggalkan tempat duduknya. "Adinata! Abang bilang duduk!" seru Tama, jauh lebih keras dari sebelumnya.

Dengan hela napas panjang, Adin menurut. Ia memutuskan untuk duduk tepat di samping Mama, sementara sorot matanya masih berlarian ke arah Jaya di seberang meja. Sama seperti sebelumnya, anak itu masih tidak mengangkat kepalanya.

"Duduk dulu, bicarakan baik-baik apa masalahnya." kali ini Eros bersuara. Dalam situasi ini, akan lebih baik jika dia yang lebih banyak menengahi daripada Tama. Kakaknya itu memang tak begitu banyak bicara, tetapi jika dia marah, Eros yakin baik Adin maupun Jaya tidak akan ada yang selamat.

Untuk beberapa lama, ruangan yang mereka tempati dilingkupi keheningan yang panjang. Adin berusaha keras menetralkan napasnya yang terus-terusan memburu, sedangkan Jaya masih tak menunjukkan tanda-tanda dia akan bicara.

"Hari ini aku jalan sama Lestari, terus nggak sengaja ketemu dia..." dengan gerak provokatif, Adin menunjuk Jaya. "...jalan sama Gayatri."

"Terus masalahnya apa?" Eros bersuara lagi.

"Dia bahkan nggak menyapa Lestari sama sekali, Kak! Dia selalu membangga-banggakan Gayatri sementara ada pacarku di situ! Apa kita ngajarin dia untuk memperlakukan orang lain dengan nggak sopan kayak gitu? Dia bahkan buang muka sewaktu Lestari senyum ke dia!"

"Emangnya salah Mbak Aya apa sih, Mas? Apa yang kurang dari Mbak Aya sampai Mas Nana nggak mau memperjuangkan Mbak Aya lagi?!" sahut Jaya. Suaranya yang keras dan tak kalah menggebu-gebu membuat orang-orang yang ada di sekelilingnya menoleh dan terperangah. Mereka benar-benar tidak menyangka ketika Jaya berani menatap Adin dan mendebat argumen laki-laki itu.

Di seberang meja, Adinata sudah kehilangan semua fungsi kerja otaknya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa adiknya itu masih tidak juga mengerti situasinya.

"Ngomong apa lo barusan?" kali ini Adin bangkit. Nada suaranya rendah, tapi jelas itulah yang menjadi masalah terbesarnya. Tak mau terjadi keributan yang semakin menjadi-jadi, Jovan sampai berdiri--menahan adiknya itu agar tak semakin tersulut emosi. "Lo lebih memahami Mbak Aya kesayangan lo itu daripada situasi gue yang jelas-jelas kakak lo?"

Semua orang menunggu Jaya untuk bicara, namun yang anak itu lakukan hanya menatap kakaknya dengan pandangan kecewa.

"Kalau gitu lo aja sana yang pacaran sama Gayatri! Supaya lo tahu gimana rasanya harga diri lo diinjak-injak sama keluarga dia!!" pekik Adin, jauh semakin lantang. Sementara Jovan, laki-laki itu masih berusaha menahan Adin agar tak semakin membabi-buta. "Gue sama sekali nggak peduli kalau cuma gue yang direndahin, tapi gue nggak suka kalau mereka ngehina Mas Jovan, ngehina Mama, ngehina Bapak, GUE NGGAK AKAN PERNAH BIARIN SIAPA PUN MENGHINA DAN NGERENDAHIN KELUARGA GUE! LO HARUS TAHU ITU!!"

Meant 2 Be✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang