Chapter 19 - Cowardice

19 3 0
                                    

Aku tidak berani menatap mata Eri atau Mirai sejak situasi itu.

Waktu malam di asrama, aku hanya diam saja, lalu menyelam di balik selimut tebal, tidak memedulikan tatapan bingung Lily dan sikap Mirai yang lebih diam dari biasanya. Aku bahkan mulai berpikir bahwa semua ini terjadi karena salahku, namun tidak ada yang bisa memberikan jawaban yang pasti kepadaku.

Ini baru minggu pertama sekolah. Rasanya aku sudah mulai merasakan stress yang menumpuk. Apalagi kalau guru-guru sudah memberikan tugas. Aku bisa mati!

Kursi di depanku mengeluarkan decitan pelan, lalu aku mendengar kursi itu dibalikkan ke arahku. Mungkin itu Eri yang ingin bertanya apa yang terjadi kemarin. Pemikiran itu membuatku tambah tidak ingin berbicara, mengingat alasanku lepas kendali karena si brengsek menjelek-jelekkan Mirai. Kesabaranku kembali meluap-luap, menyesal tidak menonjok hidung si brengsek itu sampai batang hidungnya patah.

"Aku tidak ingin menceritakan apa pun!" Seruku di balik tumpukan lengan dan buku. Rasanya hatiku diiris tipis-tipis saat mengingat tatapan yang diberikan Mirai saat itu.

"Aku tidak menyuruhmu untuk bercerita."

Batinku mulai menjerit gila, dan bahuku hampir saja tersentak mendengar balasan itu. Aku mulai mengumpat tanpa suara saat sadar bahwa yang duduk menghadapku saat ini bukanlah Eri, melainkan seorang laki-laki dengan suara tenor yang cukup kukenali. Sial! Siapa pun sediakan lubang dalam untukku agar aku bisa bersembunyi membawa rasa malu ini!

Secara insting, kepalaku mendalam lebih dalam, tidak mengizinkan sedikit pun cahaya atau celah sekecil apa pun dari dunia luar sana. Aku sudah salah mengira, dan aku tidak ingin mempermalukan diriku lebih jauh lagi.

"Pergi," gumamku. "Bukannya sekarang jam istirahat? Kenapa kau nggak pergi?"

"Oozora mengkhawatirkanmu."

'Oozora'. Itu nama keluarga Mirai. Dan aku yakin seyakin-yakinnya, hanya Mirai saja yang memiliki nama keluarga itu di akademi ini.

"Dia tidak bisa mendengar pikiranmu, ditambah dia tidak bisa membaca ekspresimu membuatnya tambah khawatir." Pemuda itu berujar, seolah Mirai menceritakan seluruh kerisauannya kepada dia. "Kau juga tidak sarapan hari ini hanya untuk menghindari mereka."

Aku mendengus pelan. "Kau bicara seperti Mi--Emma menceritakan semuanya padamu!"

"Memang begitu." Aku menutup rapat bibirku saat pernyataan itu keluar dengan santai. "Kau harus lihat wajah khawatirnya saat kau menjaga sikap darinya. Dia terlihat seperti ingin menangis."

"Kau berlebihan."

"Iya, karena kau tidak melihatnya secara langsung."

Satu atau dua anak panah melesat ke hatiku, memberikan rasa sakit yang membuat dadaku sesak. Membayangkan mata Mirai yang berkaca-kaca hanya karena permasalahanku membuat aku menjadi bersalah, padahal dia tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut.

"Katakan pada dia aku baik-baik saja." Sekarang aku pasti bersikap sangat menyebalkan di matanya, karena bersikap seolah dia adalah burung pengantar surat.

"Aku ingin mengatakannya begitu, tapi aku tidak bisa berbohong." Aku kembali mendengus mendengar ucapannya yang terdengar seperti omong kosong, tapi kalimat yang dia keluarkan selanjutnya membuatku tambah bingung.

"Karena aku juga mengkhawatirkanmu."

Aku mengangkat kepala mendengar ucapannya yang tidak bisa dipercaya. Karena membiarkan emosi mengontrol tubuh, aku mengangkat seluruh tubuhku yang bungkuk, membuat pandangan kami beradu. Aku langsung mencari objek lain sebagai tempat pusat perhatianku, karena ada rasa yang menjengkelkan muncul di permukaan saat menatap kedua netra itu lebih dalam.

The Fraudulent: Severed MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang