Chapter 4 - Idol on a Run

23 6 1
                                    

Seharusnya aku tidak ikut sama sekali kalau pada akhirnya aku duduk di depan stan karaoke sendirian. Seharusnya aku berbohong bahwa aku ada acara atau mengatakan Okaa-san melarangku pergi, padahal kebalikannya. Seharusnya aku menahan Haku-senpai saat dia ingin kabur ditengah perencaan tahun akhir.

Tapi apa gunanya menyesal sekarang? Nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak punya roti untuk mengubah kembali bubur yang kebanyakan air saat dimasak.

Para kouhai* anggota ekskul kendo lainnya melaksanakan perayaan pelepasan para senior. Awalnya, mereka mengucapkan terimakasih di ruang klub, bahkan ada yang menangis saat menghampiriku. Air matanya hampir berhasil menular ke arahku kalau aku tidak segera mengadah ke atas untuk menghentikan bulir bening sebelum menetes. Haku-senpai sampai menggodaku saat melihat aku bertingkah sok kuat.

Setelah perayaan berbagi rasa, kami pergi ke salah satu tempat karaoke dengan harga pelajar. Tempat kecil yang membuat telingaku jedag-jedug bukanlah tempat yang ingin kumasukkan ke salah satu list tempat yang ingin kudatangi. Tetapi aku tidak ingin mengganggu waktu bersenang-senang mereka dengan keluhanku yang kelewat manja.

Tepat di depan stan karaoke, sebuah layar digital yang menunjukkan sebuah iklan make-up tengah berputar. Seorang gadis yang terlihat seumuran denganku tengah menunjukkan senyuman terindahnya yang baru saja dipoles sebuah lip-gloss merek sponsorannya. Rambutnya dibuat bergelombang di udara untuk scene tertentu.

Ternyata begitu cara kerja sponsor. Mereka menggunakan pesona dari seorang selebriti untuk menarik perhatian pelanggan yang tertarik.

"Ah, dia tidak begitu menikmati pekerjaannya," gumamku saat menyadari lengkungan di wajah gadis dalam layar digital. Rasanya aku baru saja melihat sisi tergelap industri hiburan.

Pasti sangat melelahkan harus memasang senyuman seperti itu di depan kamera.

"Ah, disini kau rupanya! Aku mencari kemana-mana kau tahu!" Seorang gadis familiar berlari ke arahku dengan senyuman manis di bibirnya. Dia menghampiriku dengan penuh semangat. "Sudah kubilang tunggu di dekat kantor saja, tapi kenapa kau malah lari kesini?"

Aku hampir saja mengatakan kalau dia salah orang sebelum menyadari bahwa ada sosok mencurigakan berhenti tidak terlalu jauh dari kami. Aku kembali memandang gadis itu yang masih setia memasang senyuman, tapi jemarinya bergerak dengan gelisah. Ah, dia diikuti seorang penguntit.

"Gomen**, kakiku pegal. Rapatnya juga lama, kau tahu aku bukan orang yang sabar." Aku beranjak berdiri sambil merapikan rok yang terlipat. "Kau ingin main ke rumahku dulu sebelum pulang?"

Gadis itu mengangguk setuju. "Tapi aku harus menghubungi managerku. Dia agak rewel kalau aku menghilang seperti sekarang."

"Kau ini," gumamku sambil menggeleng pelan. "Mau sampai kapan kau merepoti managermu terus? Kau akan membuatnya tambah tua, padahal dia belum berkepala tiga."

Gila! Tidak kusangka kalau aku pintar akting juga. Aku bisa mendapat oscar kalau terus meningkatkannya.

"Oh, ya! Apa kau sudah melihat trending di sosial media?" Gadis itu merogoh saku jaket panjangnya, mengeluarkan sebuah ponsel pintar keluaran terbaru. Dia mengetik sesuatu cukup lama dengan wajah yang risau.

Aku membaca sederet kalimat yang dia ketik. Alisku berkedut saat membaca pertengahan kalimat tersebut. Saat aku mencuri pandang ke arah gadis itu, aku bisa melihat matanya berseru agar aku tetap bersikap tenang untuk situasi ini. Berarti aku harus melanjutkan akting ini sampai penguntit gila itu atau aku mengambil langkah paling aman.

Dengan berat hati, aku tersenyum simpul sambil mengangguk pelan. Apa yang harus aku lakukan? Penguntit itu terlihat menunggu aku lengah dan mengambil gadis itu. Aku harus cepat mengambil tingkah bila tidak ingin hal buruk terjadi padanya.

The Fraudulent: Severed MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang