"Bunga tumbuh di nadinya, memberikan kehidupan abadi,
Kecantikan menjadi sebuah kata yang tidak akan terpisah dari keberadaannya,
Sementara, hatinya membeku dan membusuk, kosong bagaikan gua yang gelap."
-
Siapa yang akan menyangka bahwa menjalin pertemanan dengan pemuda itu sama saja menjadi babysitter-nya? Bukannya dia menyesal sudah berteman dengan pemuda itu, tapi dia sering berharap agar temannya itu tidak bersikap kekanak-kanakan dan selalu menghilang tanpa ada berita. Rasanya Jun seperti orang Ibu yang beranak tiga, padahal dia laki-laki, belum menikah, dan tidak memiliki satu pun anak.
Keberadaan pemuda itu tidak ada dimana pun. Ruang makan? Leo sudah sarapan tadi, jadi dia yakin pemuda itu tidak akan menghabiskan lebih banyak waktu di sana kalau urusannya sudah selesai. Ruang kelas? Iya kali dia akan bersembunyi disana, pemuda itu terlalu malas untuk olahraga, apalagi jalan ke gedung sekolah yang memiliki jarak yang terasa seperti jalan pagi. Kamar asrama? Jun sudah mengedor-ngedor kamar tersebut, sampai teman sekamar pemuda itu mengatakan orang yang dia cari tidak ada. Jadi, dia harus pergi kemana lagi?
Jun menyapu rambutnya yang menghalangi pandangan, sekaligus meredakan kekesalan yang perlahan memuncak di dalam dirinya. Bila dia menemukan pemuda itu, sepatu yang dia kenakan sekarang akan lepas landas, berharap itu akan mendarat tepat di wajah pemuda itu.
"Pagi-pagi sudah stress aja. Pekerjaan di dapur sebanyak itu?"
Panjang umur.
Tanpa membuang lebih banyak kesempatan, Jun melepaskan sepatu yang dia kenakan, lalu melempar ke arah seorang pemuda yang duduk santai di atas ranting pohon. Dia dan reflek cepatnya, Leo menangkap sepatu tersebut.
"Kalau kau berencana untuk memberikanku sepatu, setidaknya kasih dengan cara yang normal," ujar Leo yang meletakkan sebelah sepatu itu di ujung ranting. "Apa kau akan menyerahkan yang satu lagi?"
"Kembalikan sepatuku!"
Leo melempar balik sepatu itu, dan Jun menangkapnya sebelum sepatu itu terlempar terlalu jauh.
"Kau darimana saja? Ayahmu menelponku tadi, mengatakan kalau ponselmu tidak bisa dihubungi! Setidaknya balas pesanku di saat kau ingin menyendiri!" Jun menggeleng kesal, tidak habis pikir dengan ketidakpedulian Leo pada sekitarnya. Sebuah kesadaran menghantamnya, "Jangan bilang kau mematikan notifikasimu?"
Pemuda bersurai gelap itu terdiam, lalu merogoh saku hoodie untuk melihat layar ponselnya. "Eh, iya, kumatikan."
Jun menghembuskan nafas sebanyak mungkin. Dia tidak boleh marah. Tidak jarang Leo selalu melakukan hal itu, tinggal di dunianya sendiri, mematikan notifikasi sampai orang-orang disekitar panik mencarinya. Pemuda itu suka dengan kesendiriannya yang tidak tersentuh, dan Jun akan menghormati jarak aman di antara mereka.
Tetapi, orang sabar memiliki batasnya. Waktunya untuk menghentikan peran babysitter menjadi teman biasa.
"Kau mencariku hanya perihal Ayah?" Jun mendongak kembali, melihat Leo yang menatapnya dengan datar. Pandangan itu menyiratkan kalau kedatangan Jun hanya membuang waktunya kalau tujuannya datang kemari hanya masalah kecil itu.
"Enggak. Kau belum membereskan barangmu, kamarmu sangat berantakan, dan Damien mengancam untuk membuang laptopmu keluar jendela." Itu bukan dusta, karena Damien menitipkan pesan itu saat Jun mengerang kesal. Memang dia kira semacam burung merpati pembawa surat?
Leo hanya mengedikkan bahu. "Itu masalahnya. Lagipula, kalau dia beneran melakukan itu, aku akan membalas balik."
Sudah dia duga, Leo akan menjawab acuh tak acuh. Pemuda itu tidak peduli dengan apa pun yang terjadi dengan sekitarnya, bahkan bila ada mobil atau seseorang yang bermasalah dengannya, Leo akan menganggap itu bukan masalah besar dan menghindarinya dengan mudah. Kecuali sebuah masalah yang berkaitan dengan sesuatu atau seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fraudulent: Severed Memories
Fantasy[FANTASY + (Minor)ROMANCE] Yuuna pikir dia akan menyimpan rahasia terbesarnya seumur hidupnya, tapi pemikirannya salah. Kedatangan surat itu mengubah hidupnya 180 derajat. Karena itu, bukan dia saja menjadi target dari Kegelapan, melainkan teman-tem...