Itu pertama kalinya aku menemukan aroma sihir dari seseorang begitu memuakkan. Untung saja, aku sudah menyelesaikan makan siang saat dia melangkah masuk, jadi aku tidak perlu menelan makanan bulat-bulat ditemani bau amis yang membuatku ingin muntah. Dari jauh saja sudah sepekat itu, apalagi kalau dia dari dekat.
Tapi, aku merasakan sesuatu darinya. Aku tidak yakin apakah itu hal baik atau buruk.
Pemuda yang berbicara dengan kami sebelumnya adalah seorang senpai, berbeda dua tingkat dari kami, itulah yang Mirai katakan saat kami melangkah keluar dari ruang makan. Senpai tersebut merasa tidak nyaman dengan percakapan yang kaku, makanya dia terlihat agak ragu saat aku membalas ucapannya dengan formal, berbeda dengan balasan yang dia berikan saat Vanessa berbicara informal dan santai.
Atau ketidaknyamanan itu berasal darimu?
Suara itu kembali datang membawa sejuta kegelisahan yang coba kucegah dengan mengurungnya di dasar lubuk hati, tapi kedatangannya selalu saja tiba-tiba, dan siap menghantamku sampai aku tidak bisa bangkit. Aku tidak punya tenaga dan akal sehat untuk meladani setiap kekacauan yang akan diperbuat.
"Eri akan datang nanti sore, sekaligus bawa beberapa snack yang kau minta," ujar Mirai sambil membaca pesan yang Eri kirimkan. Aku mengintip isi pesan mereka, melihat deretan emoji yang pengirim berikan pada Mirai, kebanyakan emoji yang digunakan untuk mengejek seseorang.
"Tanya apa dia beneran bawa barang yang kuminta!" Aku mengguncangkan pundak Mirai dengan pelan. "Sekalian minta barang buktinya!"
Mirai mengindahkan permintaanku. Tidak butuh waktu lama, bunyi notifikasi muncul dari ponselnya, menunjukkan satu deret emoji dari Eri bersamaan dengan foto sebagai bukti. Aku mengangguk pelan, meskipun senyuman antusias terlukis disana. Tidak sabar menantikan buah tangan yang Eri janjikan saat hari kelulusan.
Gawai digenggamanku bergetar pelan. Di saat aku melihat layar, tulisan 'Okaa-san' terletak disana dengan tombol bersimbol telepon loncat-loncat di dalam layar. Aku izin memisahkan diri dari Mirai untuk mengangkat panggilan tersebut, lalu pergi ke tempat sepi terdekat.
Aku menerima panggilan tersebut setelah sampai di pos yang dekat dari gerbang masuk. Okaa-san lah yang memulai pembicaraan panggilan.
"Udah makan siang? Kau merasa nyaman di asrama?"
Aku mengangguk. Setelah sadar Okaa-san tidak bisa melihatnya, aku menjawab dengan pelan, "Udah. Asramanya kayak apartemen, bukan apartemen satu kamar."
"Luas banget pasti disitu," ujar Okaa-san yang kubalas dengan tawa pelan sebagai tanda setuju. "Jangan lupa minum vitamin sama obatnya, dan jangan tidur larut."
Selalu pesan yang sama, jadi aku hanya membalas dengan dehaman atau "iya" yang sengaja kuperpanjang untuk menunjukkan rasa bosan pada pertanyaan tersebut. Okaa-san tidak menangkap kode, tapi menambah beberapa pesan yang jarang diucapkan, seperti: jangan ngomong kasar di lingkungan yang belum dikenal, perbanyak lingkaran pertemanan, dan nasihat berhubungan dengan akademik.
Pesan yang Okaa-san berikan selanjutnya membuatku terdiam.
"Besok kau harus pergi ke rumah sakit, jam setengah sebelas. Jangan lupa, Yuuna!"
Lidahku terasa kelu, tapi aku memaksakan diri untuk menjawab. "Iya. Di rumah sakit biasa?"
"Iyalah di rumah sakit biasa. Mau kemana lagi?"
Aku memaksakan diri untuk tertawa, mengusir perasaan pahit bahwa aku harus kembali untuk melakukan terapi yang tak berujung.
Panggilan itu diputuskan oleh si pemanggil, meninggalkanku di dalam kesunyian penuh kesesalan. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus disesalkan. Banyak pertanyaan mengapa dan bagaimana, tapi tidak ada jawaban yang pas untuk diisi. Suara yang biasanya rewel dan cerewet itu juga tidak bisa menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fraudulent: Severed Memories
Fantasia[FANTASY + (Minor)ROMANCE] Yuuna pikir dia akan menyimpan rahasia terbesarnya seumur hidupnya, tapi pemikirannya salah. Kedatangan surat itu mengubah hidupnya 180 derajat. Karena itu, bukan dia saja menjadi target dari Kegelapan, melainkan teman-tem...