"Waktunya untuk burung kecil terbang dari sangkar,
Mengelilingi dunia luar yang lebih luas dari dugaannya,
Diikuti oleh rasa takut yang hinggap di pundak, layaknya belahan jiwa"
-
Hari itu sudah tiba, hari dimana aku akan angkat kaki dari rumah. Aku panik sekali karena ini pertama kalinya aku akan tinggal di asrama. Saking paniknya, aku sampai memeriksa barang-barangku untuk kelima kalinya.
Untung saja aku bangun lebih awal dari biasanya, jadi aku dapat menggunakan waktu ini sebanyak mungkin. Aku juga sampai menulis daftar-daftar barang-barang yang harus kubawa. Ini sangat merepotkan daripada menyusun barang untuk pulang kampung, karena aku akan menyusun barang-barang ini untuk kebutuhanku tiga tahun ke depan.
"Selesai-- Tunggu, handuk udah masuk belum?"
Natsumi-nee-san yang sudah bangun beberapa menit yang lalu (terima kasih pada kerusuhan yang kubuat) menatapku dengan malas. Entah karena dorongan apa, dia membantuku agar aku tidak tambah repot. Dia hanya mengingatkanku saja, walaupun tidak terlalu membantu tapi aku menghargainya.
Setelah selesai memeriksa barang-barang, aku mengunci koperku dengan gembok. "Akhirnya... makasih udah bangun jam segini, ternyata kau berguna juga." Aku memberikan jempol pada kakak.
"Oh, ya? Lain kali aku tidak akan membantumu." Aku langsung menahan tubuhnya saat Natsumi-nee-san memutar tumit, dan ingin pergi keluar dari kamarku. "Aku tidak menyangka kau akan masuk ke akademi yang populer itu."
Aku hanya tertawa pelan. "Apa sih yang tidak bisa dilakukan adikmu ini? Aku tuh sebenarnya pintar, hanya pura-pura bodoh saja," ucapku dengan nada sombong.
Natsumi-nee-san memberikanku tatapan datar, dan dia memutar bola matanya dengan malas. "Kau menangis satu shari satu malam hanya karena tidak bisa menggunakan printer. Apa saat itu kau pura-pura bodoh atau memang tidak tahu?"
Pernyataan itu memmbuatku bergeming. Dia jelas tahu apa maksudnya, tapi dia memiliki keberanian untuk bertanya langsung di depan wajahku.
"Jangan ajak ribut di pagi hari," desisku, yang dibalas dengan kedikan bahu santai.
Pergerakan tangan Nee-san berhenti saat melihat sesuatu yang menangkap perhatiannya dariku. Tangannya terancung di sekitar leherku, membuat aku menoleh ke bawah, ke arah dimana dia menunjuk jarinya. Sebuah rantai dengan liontin berbentuk butiran air terletak disana. Permata--atau plastik yang diukir menjadi kristal--biru memantulkan cahaya di kamarku, menunjukkan kecantikan yang tidak pernah bosan membuatku terpukau.
"Kenapa? Kau berpikir untuk mencurinya?!" Seruku panik. Seketika, kedua lenganku sudah memeluk tubuh, melindungi perbuatan Nee-san selanjutnya.
Dia menatapku aneh, lalu menggeleng pelan. "Enggak. Aku tidak menyangka kau masih menyimpan hadiah itu. Memang naluri alamiah benar-benar keren," gumamnya.
Darimana Natsumi-nee-san tahu tentang hadiah ini? Tentu, aku terkadang memakainya di dalam rumah saat keadaan rumah sepi, karena aku berpikir sangat disayangkan ini tersimpan di dalam laci nakasku saja seumur hidup. Nee-san juga pernah bertanya perihal kalung ini, begitu pun dengan Mirai dan Eri saat mereka melihatku pertama kali menggunakannya. Tapi aku tidak pernah mengatakan ini hadiah, karena aku lupa siapa pemberi kalung ini.
Dan juga, apa maksudnya dengan naluri alamiah?
Matahari sudah terbit di ufuk timur, memancarkan cahanya yang sangat terang bersamaan dengan senyuman khasnya. Aku juga sudah sepenuhnya bangun saat mendengar suara burung berkicau. Mataku masih sedikit berkunang-kunang karena aku baru saja bangun dari tidur 2 jamku.
![](https://img.wattpad.com/cover/227171144-288-k64029.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fraudulent: Severed Memories
Fantasi[FANTASY + (Minor)ROMANCE] Yuuna pikir dia akan menyimpan rahasia terbesarnya seumur hidupnya, tapi pemikirannya salah. Kedatangan surat itu mengubah hidupnya 180 derajat. Karena itu, bukan dia saja menjadi target dari Kegelapan, melainkan teman-tem...