Chapter 27 - Threat to Humanity

11 1 0
                                    

Dingin yang mampu membekukan seluruh tubuh kembali terasa. Aku kembali tiba di tempat dimana sejauh mata memandang semuanya putih. Di saat aku mencoba berjalan, aku tersandung oleh batu besar yang ditutupi salju secara sempurna. Rasa sakit itu ada, apalagi di bagian ibu jari kaki, namun tidak ada yang berdarah atau luka terekspos ke mata orang lain karena salju tebal ini.

Sebenarnya siapa yang memanggilku? Jujur saja, aku bahkan bingung apakah dia memang memanggilku atau salah target. Namaku Yuuna Moritake, dipilih oleh Nenek dan didiskusikan bersama keluarga inti, dan margaku berasal dari Ayah. Setelah masuk ke akademi yang sebelasduabelas dengan tes kuburan, aku mendapat nama Yunania, dan semua orang mengatakan nama itu memiliki nama yang bagus, dan aku tidak tahu apa artinya.

Aku tidak kenal orang bernama Rei-Ren apalah itu!

Derap langkah yang ditenggelamkan salju membuat kesadaranku kembali datang. Aku berjengit takut saat mendengar geraman dari dua serigala yang datang ke arahku. Begonya, tubuh ini tidak bisa diajak bekerja sama untuk kabur atau memasang ancang-ancang bila kedua serigala liar itu berencana untuk mengigitku.

"Tenang," titah seseorang membuat geraman serigala terpadam. Suaranya tenang seperti sungai, namun bisa menghanyutkan siapa pun yang tergoda dengan kejernihannya.

Perintah itu berasal dari seorang pemuda bermantel abu-abu terang dengan kerah bulu seputih beruang kutub. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena bayang-bayang dari tudung mantel tersebut menyembunyikan identitasnya. Tetapi dari suaranya yang berat seolah ingin menggetarkan dunia, aku menerka bahwa pemuda itu berumur sekitar tiga puluhan.

Akhirnya, tubuhku bisa bergerak semestinya. Tapi ada yang aneh, tubuhku memasang kuda-kuda seperti yang dilakukan anggota karate, padahal aku mengikuti ekskul kendo. Rasanya ada sesuatu yang memerankan tubuhku dengan sempurna, sesuai dengan keinginan kepala.

"Apa kau yang memanggilku?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia sedikit merenggangkan tangan, seolah mengundangku untuk masuk ke dalam pelukannya. Tidak mungkin aku akan memeluk seorang pria yang terlihat ingin menculikku. "Aku sudah menantikan kehadiranmu cukup lama."

Sebuah getaran di bawah kaki membuatku kehilangan keseimbangan. Salju dari pohon cemara berjatuhan. Untuk pertama kalinya, aku melihat warna hijau segar selain warna monoton yang membosankan. Warna hijau tua terlihat mencolok, meskipun bukan warna cerah seperti putih atau merah, namun aku bisa merasakan kesegaran yang hidup di dunia putih ini.

Pria itu mengadah ke atas, memandang langit yang berawan. "Sepertinya pertemuan kita tidak berlangsung lama." Dia kembali menatapku, meski tidak dilurus ke mata karena aku bingung apa dia menatap udara kosong di sekitarku atau benar-benar lurus ke netra. "Dengarkan aku, ■■■. Rasa sakit yang baru saja kau dapatkan adalah berkat dari peri-peri itu. Anggap saja sebagai hadiah dari kami."

Kami? Apakah ada orang lain yang di bawah alam sadarku selain dia? Apa aku semacam kepribadian lain atau nyawa orang lain? Ini mengerikan!

Apa aku harus pergi ke gunung untuk mencari dukun atau jimat saja?

Sekitarku menjadi buram, dan kepalaku kembali terasa berputar. Dengan lemah, aku mengeluarkan pertanyaan paling bodoh untuk diutarakan pada pria aneh: "Kau aneh dan aku tidak mengenalmu, tapi aku ingin tahu...! Apa kita bisa bertemu lagi?!"

Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, namun sesuatu dalam diriku mengatakan bahwa pria itu tengah tersenyum di balik tudung besar itu. "Tidak ada yang tahu dengan masa depan, tapi kau bisa mencobanya dengan mengetuk kepalamu cukup keras—"

Dan, lolongan serigala menjadi bentuk perpisahan sementara kami.

-

"Jangan pergi dulu!"

The Fraudulent: Severed MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang