Chapter 15 - Twinkle In Their Eyes

17 4 1
                                    

Hari mulai gelap. Dia bisa melihat pemandangan langit yang mulai berdarah, mengeluarkan gradasi warna jingga, kuning, merah, dan ungu mendominasi langit, bersamaan dengan awan berarak lambat mengaungi cakrawala yang luas. Semua hal itu terjadi karena perubahan waktu, bumi yang berputar setiap detik di luar angkasa, dan matahari yang tenggelam di ufuk barat. Semua detik-detik momen itu tertangkap dari jendela perpustakaan.

Gorden putih berhembus pelan oleh angin lembut, karena dia sengaja membuka jendela lebar-lebar, seolah menantikan kedatangan seseorang yang akan menyambutnya dengan senyuman bodoh. Sesekali, dia menoleh keluar jendela untuk memastikan sesuatu, memastikan kedatangan sosok itu, meskipun dia tahu sosok itu tidak akan datang.

Gadis itu menghembuskan nafas, mengeluarkan seluruh beban yang ada di dadanya. Tanpa dia sadari, sebagian kecil kebahagiaan ikut keluar.

Suara lembaran yang dibalikkan angin mengisi kesunyian di perpustakaan tersebut. Setiap tulisan di lembaran tersebut menyala pendar, mengisahkan sebuah kejadian yang sudah berlalu. Bagaikan film, paragraf itu memunculkan sebuah gambar di pikirannya setiap dia membaca.

"Kita semua sudah melihat bahwa hal ini akan terjadi padanya, cepat atau lambat. Kami sudah menduganya... Tapi, aku tidak akan menyangka akan secepat ini."

"Kalau kau tahu semua akan terjadi, kenapa kau tidak bertindak lebih cepat? Mengapa kalian hanya tertawa bersama, melupakan segala kerusuhan yang terjadi di sekitar kita?"

Jemarinya berhenti, terlalu bergetar untuk lanjut membaca halaman selanjutnya. Tidak jemarinya saja, bibirnya pun begitu, menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. Padahal dia bukan seorang empati. Jadi, mengapa dia terasa bisa mengerti setiap perasaan yang dimiliki sosok dalam cerita?

"Kau sendiri mengatakan harus menikmati setiap momen di masa sekarang! Kami ingin melupakan semuanya! Kami ingin berbahagia, menganggap semuanya baik-baik saja!"

"Tapi... kami tahu itu mustahil. Orang seperti kita tidak berhak berbahagia. Ini kutukan kita."

Dia mendongak ke atas, menahan air matanya yang ingin berlinang. Dia melepaskan salah satu tangan yang menahan buku tersebut, lalu mengipas kedua mata agar air mata itu tidak terjatuh. Akan sangat memalukan bila seseorang tahu dia habis menangisi kertas dan tinta.

Dengan jiwa yang bergetar, dia memberanikan diri untuk kembali membaca bagian tersebut.

"Sumpah, hentikan! Kenapa kau selalu memikirkan kehidupan orang-orang disini, meskipun ini bukan kewajibanmu!"

"KARENA DIA SUDAH MATI, VALEN!"

"DIA SUDAH TIADA, DAN HANYA AKU TERTINGGAL BERSAMA KEHIDUPANKU YANG TIDAK BERGUNA!"

Bagaikan air terjun, air mata itu menitik perlahan oleh ledakan emosi. Dia tidak mampu menahan dirinya untuk menangisi amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu, menyebabkan sebuah hantaman keras di perutnya. Air mata itu membasahi sampul buku tidak berjudul.

"Ah, sial," gumamnya dengan suara parau.

"Habis nangis?"

Gadis itu duduk tegak saat suara berat mengejutkannya. Dia membelak saat melihat figur berdiri sambil menyandarkan diri ke rak buku, lalu menjulingkan mata. Dari sekian orang, harus pemuda itu melihat keadaannya yang sangat memalukan.

The Fraudulent: Severed MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang