CHAPTER 44 : SEBUAH KENYATAAN

74 7 8
                                    

Chapter 44




Setelah keluar dari pintu kamar, Carmen juga dikejutkan dengan keberadaan Almira tepat di depan pintu. Bukankah gadis itu bilang harus kembali ke dapur? Bibi Almas mengangguk ke arah Almira begitupun sebaiknya. Carmen dibuat bingung oleh situasi ini. Ia sampai harus menurunkan kacamata hitamnya untuk memastikan memang benar Almira ada di hadapannya.

"My Lady," dua pengawal membungkuk pada Carmen. Gadis itu menyadari aksinya untuk keluar diam-diam agar bisa berbincang lama dengan BIbi Almas agaknya butuh lebih banyak usaha. "Oh, jika Pangeran Mikail mencariku, sampaikan padanya aku keluar sebentar untuk pergi bersama Jenderal kehormatan Autumn dan Pangeran Harry." Kedua pengawal tadi saling bersipandang kemudian mengangguk. "hanya sebentar, tidak akan lama." Carmen meyakinkan keraguan dari kedua pengawal itu.

Dan kemudian, tibalah Carmen dan Bibi Almas di tengah ramainya pasar. Kenapa Bibi Almas membawanya kemari? Carmen sudah cukup bingung dengan penyamaran ini—jubah yang cukup besar, sarung tangan, kacamata hitam—dan sekarang berkeliling di pasar?

"Bi, ada apa sih?" Carmen langsung pada intinya.

"Sebentar lagi, Carmen" Jawab Bibi Almas. Mereka sudah berjalan sangat jauh dari istana, kakinya mulai gemetar, peluh di pelipisnya menetes berkali-kali juga napasnya semakin pendek. Ya Tuhan...

Akhirnya mereka sampai di depan sebuah gubuk tua di tengah ramainya pasar. Gubuk itu hanya beratap jerami kering dan tinggi pintunya tiga jengkal dari kepala Bibi Almas. Carmen mengikutinya masuk ke dalam setelah sempat ragu dalam beberapa detik, gadis itu melihat sekeliling namun tak menemukan sesuai yang ganjil, hanya beberapa meja kursi peralatan dapur yang tidak lebih bagus dari property istana. Carmen duduk di salah satu kursi, Bibi Almas bergerak mendekati pintu dimana mereka masuk dan mengintip keluar melalui celah kecil kemudian bergabung dengan Carmen.

"Apa ada yang mengikuti kita, Bi?" Carmen bertanya.

"Tidak ada, sayang. Jangan khawatir. Oh sebentar, kau pasti haus." Wanita itu menuangkan air minum dari kendi tanah liat. Jika melihat dari seberapa lihainya Bibi Almas dengan perabotan di gubuk ini, sepertinya Ia sering datang kemari. Tapi ini tempat apa? Kenapa Ia membawa Carmen kemari? Ia memberikan cangkir gerabah berisikan air putih pada Carmen.

"Dulu sekali, kami pernah menjual kain disini. Aku dan Ibumu." Bibi Almas berucap seakan sedang menerawang ke masa lalu. Tatapannya penuh kerinduan pada temannya—Nuray, yang tidak lain adalah Ibu dari Carmen. Mendengar itu, Carmen reflek melihat sekeliling meyakinkan dirinya bahwa tempat ini dulunya adalah sebuah kios tempat ibunya bekerja bersama Bibi Almas.

"Bibi mengenal ibuku?" ia bertanya dengan sorot penasaran, ekspresinya tidak pernah bisa membohongi siapapun jika ia mengatakn bahwa ia tidak tertarik dengan topik ini. Bibi Almas mengangguk. "sangat. Kami sangat dekat." Jelasnya lembut, Carmen membekap mulut dengan kedua tangan guna menutup keterkejutannya akan informasi ini. Bibi Almas yang selama ini merawatnya dengan penuh kasih sayang, dan juga ia anggap seperti ibunya sendiri ternyata teman dekat dari ibunya. Sungguh tidak dapat dipercaya. Kemudian Carmen melihat ke sekeliling lagi, namun gubuk ini sama sekali tidak tampak seperti kios melainkan hanya bangunan kecil kumuh yang tidak menandakan dulunya sebuah kios kain.

"Tapi itu dulu sekali sebelum istana memporak porandakan tempat ini, kemudian kami membangun gubuk yang baru." Bibi Almas menjawab pertanyaan dari tatapan Carmen.

"memangnya kenapa Bi?"

"Ibumu dan Raja Yaser terlibat hubungan yang ditentang bahkan oleh negeri ini." Jelasnya, Carmen semakin shock sampai ingin muntah. "setelah pertemuan tanpa disengaja hari itu, singkat cerita Raja Yaser sering mengunjungi kios kami hanya untuk menemui Nuray. Kupikir Nuray tidak tertarik padanya karena kebersamaan mereka terlalu tidak nyata dan sampai kapanpun tidak akan bersama. Tapi Nuray begitu naif, lambat laun Raja Yaser berhasil menaklukannya sampai aku sendiri hampir tidak mengenal Nuray yang dulu. Ibumu sangat dibutakan oleh cinta." Bibi Almas menatap tepat pada dua bola mata Carmen pada kalimat terakhir, kemudian menyunggingkan senyum penuh ironi. Wanita itu tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya pada Nuray, sahabatnya kala itu bahkan sampai saat ini, sudah lebih dari dua puluh tahun sejak tragedi itu. Carmen tidak memiliki banyak waktu untuk mengenal ibunya karena sudah ditinggal kedua orang tuanya sejak kecil, namun Ia bisa membayangkan segigih apa ibunya kala itu akan pendiriannya, terlebih lagi jika memang benar Ia mencintai Raja Yaser. Tapi, Raja Yaser? Carmen masih tak bisa berkata-kata.

CARMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang