CHAPTER 38 : Sang Penghianat

124 18 34
                                    

Carmen's POV






Kesadaranku mulai terbangun saat aku merasakan tempat tidur kami berderak. Saat perlahan kubuka mataku, hal pertama yang kulihat adalah dua tiang tempat tidur yang tetap berdiri kokoh dan aku juga masih bisa melihat langit-langit kamar melalui helaian tipis kain yang terbentang di atas tempat tidur.

"Tidak... Ayah, kumohon Ayah..." adalah suara Pangeran Mikail yang terus menggulirkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri berulang-ulang hingga membangunkanku. Dada telanjangnya basah oleh keringat, begitu juga pipi dan lehernya. Rahangnya begitu keras saat kusentuh untuk membangungkannya. Dia terus meracau, akan sulit agaknya membangunkan Pangeran Mikail kali ini. Akhirnya aku beringsut merungkuk di dadanya, bertumpu pada siku dan menepuk-nepuk pipi dan menggoyangkan bahunya beberapa kali hingga mataku bertemu dengan bulat matanya yang memancarkan penderitaan, ketakutan, dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. Bulu mata lentiknya basah, aku tidak bisa menjelaskan itu karena air mata atau keringat. Kedua tangannya terangkat menggenggam lenganku dengan cengkeraman yang begitu kuat sampai membuatnya terasa sakit.

Saat aku hendak mengaduh karena cengkeraman tangannya di kedua lengan kecilku, Ia sama sekali tak memberiku kesempatan karena mulutnya sudah berada di mulutku. Ia menggulirkan tubuhku di bawahnya, menekannya hingga tenggelam di permukaan tempat tidur. Tangannya bergerak dari pipiku, kemudian turun nyaris mencekik leherku dan turun lagi menemukan dadaku dan bermain di sana dalam beberapa detik yang begitu menyiksa hingga sebuah desahan lolos dari mulutku yang masih berada di mulutnya. Tak berhenti sampai disitu, tangannya bergerak turun lagi di pinggangku dan menemukan diriku di bawah sana, kaki kanannya bergerak memisahkan kedua kakiku untuk memberikan akses lebih pada tangan ahlinya. Desahanku nyaris terdengar seperti teriakan kecil yang hanya sampai pada tenggorokanku. Godaan dari tangan ahlinya disana membuat kepalaku pening, duniaku berputar dan pikiranku tidak berada di tempatnya. Namun di saat yang tidak tepat, Ia berhenti. Oh tidak. Aku merindukan tangannya dan memprotes dengan dengusan sebal saat kemudian sesuatu yang lebih besar mulai menerobos masuk di bawah sana dengan keras diiringi dengan lenguhan panjang darinya, tubuhku memantul nyaris membentur kepala tempat tidur menerima dorongannya.

Aku ingin menatap pemandangan paling menggetarkan selama hidupku, yaitu ekspresi wajahnya di saat seperti ini. Mata sayunya sesekali terpejam, rahangnya terkatup rapat dan mulut yang membentuk huruf o kecil saat meninggalkan bibirku yang bengkak. Suaranya terdengar sangat surgawi, dan Ia menciumku lagi saat gerakannya semakin cepat. Suara lenguhan kami bersatu dengan irama yang diciptakan tubuh kami berdua.

"Carmen..." panggilannya membuat sesuatu kembali terbangun jauh di dalam diriku, kemudian terkoyak dan hancur lebur bersama geraman berikutnya. Ia memanggilku lagi, kali ini suaranya terdengar seperti dikejar oleh sesuatu. Namaku terdengar seperti sebuah geraman sekaligus doa yang begitu pilu keluar dari mulutnya. Dan Ia ambruk menyusulku satu detik berikutnya.

"aku mencintaimu." Ia berbisik saat kepalanya terjatuh di leherku. Meski ini kali kedua—kalau tidak salah—Pangeran Mikail mengatakan hal yang terdengar semanis itu, tetap saja perasaanku masih sama terkejutnya dengan saat pertama kali Ia mengucapkannya. Pria dingin, cuek, membenciku dan dengan sangat terpaksa menikahiku di awal kami bertemu bisa berubah seperti ini. Rasanya seperti mimpi dan aku tidak ingin terbangun dari mimpi indah ini. Setelah lima detik akhirnya Ia menarik keluar dirinya dari dalam diriku dan Ia memelukku dalam dekapannya yang hangat. Ia menarik selimut yang bergumul di pinggang kami dan kembali menutupi tubuh kami. Posisi yang sama saat kami melakukannya beberapa jam yang lalu sebelum tidur. Ia mencium puncak kepalaku dan memelukku erat di bawah selimut. Kegelisahannya akibat mimpi buruk yang aku sangat yakin membangunkannya tadi musnah begitu saja, secepat bagaimana akupun sudah lupa untuk bertanya lebih lanjut mengenai mimpinya itu, atau aku memang memutuskan untuk menunda pertanyaan yang kutujukan padanya karena barusan itu kali pertamaku melihatnya begitu tersiksa. Aku tidak ingin pertanyaanku nantinya akan menambah beban pikirannya saat ini. Pasti bebannya sebagai seorang Raja Besar pemegang kekuasaan nomor satu di Kerajaan Anatolia begitu berat.

CARMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang