Play mulmednya yaaa.
Carmen’s POV
Aku mulai mencium aroma rempah yang sangat akrab di hidungku. Kami—aku dan Pangeran Mikail berjalan menuju dapur. Terletak di sudut paling belakang lantai satu Istana. Aku rindu sekali dengan spot dekat pintu ganda menuju halaman luas di belakang dapur. Disana biasanya aku menghabiskan waktu istirahat dari pertarunganku—dengan spatula—dan duduk di samping jendela, sembari menyeruput teh jahe dan madu. Wah, rasanya seperti pulang ke rumah setelah berpetualang keliling dunia.
“Your Highness...” Sapa salah seorang koki, aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Dia koki kepala di Istana ini, kira-kira jabatannya hampir sama dengan Bibi Almas. Bedanya, Paman Sameer ini yang mengatur strategi semua hidangan dari membuka mata sampai membuka mata lagi alias dari bangun tidur sampai bangun tidur lagi seluruh penghuni Istana ini. Dia pria yang perfeksionis. Ide masakannya jika dilelangkan untuk acara amal akan mendapat peminat paling banyak, dan peminatnya itu adalah semua kalangan bangsawan. Kemudian, Paman--Oh Ketua Sameer melirik padaku, Ia menyapaku juga. Tapi tidak heran jika ia juga tampak tidak percaya Pangeran Mikail ada di dapur Istana. Dan bodohnya, aku baru menyadari keanehan ini saat beberapa koki dan pelayan yang berlalu lalang saling berbisik heran. Diantaranya ada yang sampai menutup mulutnya yang menganga karena saking terkejutnya.
“Ketua Sameer.” Anggukku. Pangeran Mikail tentu saja tidak mengatakan apapun. Di kamar tadi Ia bilang ingin aku memasakan dolma untuknya. Apapun akan aku lakukan asalkan ia mau menjawab beberapa pertanyaanku dengan jujur. Aku terlalu bersemangat hingga aku tak menyadari efeknya.
“Ngomong-ngomong, Aku ingin meminjam dapurmu untuk sementara. Pangeran Mikail ingin aku memasak sarapan untuknya.” Ujarku.
“Carmen!” kami berbalik ke sumber suara. Disana ada Bibi Almas dengan celemek berwarna biru, senada dengan maniknya yang indah. Aku tersenyum dan memeluknya sedetik. “Your Highness.” Sapanya pada Pangeran Mikail. Dibalas anggukan oleh Pangeran Mikail. “Apa yang kau lakukan disini, Carmen? Dan kau juga mengajak suamimu kesini?” desis Bibi Almas di samping telingaku dan aku menjawab pelan dengan jawaban yang sama yang aku berikan pada Ketua Sameer.
“Oh sebelah sini, Your Highness.” Bibi Almas berbaik hati menggiring kami ke wilayah dapur yang ia sarankan. Kami berjalan ke bagian peralatan dapur menuju tangga menurun ke ruang bawah tanah. Wow. Ruangannya gelap namun kemudian Bibi Almas menyalakan lampu, memperlihatkan dengan jelas bagaimana ruangan ini sangat besar, mewah, bersih, indah dan banyak barang-barang dan peralatan dapur paling mutakhir di abad ini. Mulutku pasti membentuk huruf O sempurna.
Tapi Pangeran Mikail tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sampai disini aku menduga hanya aku yang belum pernah berada disini. Pelayan macam apa aku tidak tahu ada tempat ini? Tapi toh sepertinya ruangan bawah tanah ini hanya dipakai untuk acara khusus kerajaan ya?
“Your Highness. Kalian silahkan tunggu disini. Apa yang ingin kalian makan untuk sarapan?” Bibi Almas. Oh tidak, tapi aku ingin memasak.
“Tapi Pangeran Mikail ingin aku yang memasak, Bi.”
“Sudahlah. Tidak perlu, lain kali saja. Kita juga harus cepat. Banyak sekali yang harus kukerjakan.” Jawab Pangeran Mikail. Bibi Almas mengangguk dan bergegas pergi meninggalkan kami berdua setelah memberi hormat berupa anggukan sopan.
“Oke. Apa yang ingin kau tanyakan?” ujar Pangeran Mikail, seorang lelaki yang tak bisa kuperkirakan berapa usianya datang membawa dua gelas kosong dan sekotak besar susu murni. Kemudian ia melesak cepat seperti bayangan setelah menaruhnya di atas meja di antara aku dan Pangeran Mikail.
“Pertama, soal Alexandra. Apakah kalian sudah mengenal sangat baik?” Merasakan bibirku mengucapkan nama itu, suaraku saat menyebutkan nama Alexandra pasti terdengar terkejut sendiri karena baru terpikir olehku bahwa huruf A di dalam liontin itu bisa saja untuk Alexandra. Oh ya Tuhan, dadaku terasa sesak.
“Bukankah ini berarti akan ada pertanyaan selanjutnya buatku? mengingat kau mengawalinya tadi dengan kata ‘pertama’?” Ucapnya, menuangkan susu murni ke dalam gelasnya, kemudian gelasku. Ia meneguknya, jakunnya bergerak naik turun saat dengan gayanya entah kenapa bisa terlihat menarik dengan hanya meneguk cairan putih itu ke mulutnya.
“Jawab saja.”
“Hm. Ya?” oh itu bukan jawaban. Ia seolah sedang mengukur bagaimana reaksiku. Matanya sangat berwarna coklat memabukkan. Dan tepat saat aku hendak protes karena jawabannya tidak cukup meyakinkan, Ia menyela. “Bagaimana aku mengatakannya ya? Kau benar-benar tidak tahu aku sebelumnya jadi agak sulit menceritakannya. Istilah halusnya, semua Puteri dari negeri dongeng manapun tergila-gila padaku. Itu saja.” Jawabnya.
Seorang pelayan yang kukenal bernama Steffanie—yang pernah mentrainingku selama dua minggu saat pertama kali aku masuk kesini—berjalan masuk membawa baki berisikan dolma, mayonaise, tahini, telur-lemon, dan yogurt bawang putih berhenti di meja kami dan menaruh keseluruhannya satu persatu dengan cekatan. Ia juga langsung berbalik setelah memberi hormat tanpa menunggu apapun. Bahkan sebelum aku mengucapkan terimakasih.
“Kau seorang...”
“Ya. Entah apa yang ada di dalam pikiranmu. Tapi Lexa adalah salah satunya. Dan agak... rumit.” Jawabnya, menggigit dolma setelah mencelupkannya sedikit ke mayonaise. Jawabannya sangat santai. Sepertinya Alexandra memang tidak berarti banyak dalam hidupnya. Aku juga menggigit dolma ku, ingin terus bertanya tapi aku juga sangat lapar.
“Seberapa dekat?” kulit kepalaku seperti akan terkelupas. Ia mengangkat satu alis seperti tidak percaya aku menanyakan hal itu.
“Kau tak akan ingin mendengarnya. Semua wanita tidak akan ingin mendengarnya.” Jawabnya santai, Pangeran Mikail meneguk lagi susu murninya.
“Dengar Carmen, dulu, saat remaja aku sangat kacau. Bahkan aku menjamin kau tidak ingin bertemu dengan diriku saat remaja. Aku tidak banyak menghabiskan waktu di Anatolia. Aku lebih sering berada di New York untuk pendidikanku dan bersenang-senang, Jepang dan beberapa kali tinggal di bungalow. Well, kenapa kau tidak mengenalku mungkin karena memang meskipun di Turki aku tidak tinggal di Istana. Aku punya bungalow di suatu tempat tidak jauh dari Istana. Tapi toh semua orang pasti tahu aku, aku heran sekaligus agak tersinggung saat kau bilang tidak tahu tentangku sebelumnya.”
“Tapi aku memang tidak tahu. Baiklah mungkin memang aku tahu bahwa Raja Besar Yaser punya seorang anak laki-laki. Hanya itu saja.” Jawabku, tidak ingin Pangeran Mikail menganggapku munafik atau hanya berpura-pura tidak tahu tentangnya karena ingin dianggap berbeda. Sangat bukan aku. Ia mengangguk paham.
“Tapi itu dulu. Kemudian semakin dewasa aku semakin mengenal rasa tanggung jawab. Terlebih aku penerus satu-satunya tahta kerajaan. Dan semenjak itu, Ayahku menceritakan padaku soal ramalan.”
“Ramalan?” aku sering mendengar soal ramalan, pun juga dari Raja Leander saat kami berada di Manzikert.
“Jika kau juga jadi ingin aku menceritakan soal ramalan itu padamu, bolehkah aku minta yang satu itu jadi pengecualian? Aku tidak mau jawab.” Angkuhnya. Aku dialiri perasaan kecewa yang sangat akrab. Baiklah.
“Sudah ya. Sudah siang. Aku harus pergi.”
“Eh. Satu pertanyaan lagi.” Tawarku. Mulai panik yang satu ini tidak jadi ditanyakan. Pangeran Mikail yang hendak pergi seketika kembali duduk di kursinya.
“Soal liontin itu. Apa artinya benda itu untukmu dan ukiran huruf di dalamnya itu... siapa A yang dimaksud? Katakan yang sejujurnya. Aku ingin tahu.” Kumohon.
“Please...” pintaku saat kulihat matanya mulai tidak fokus. Hening menjalar. Tidak ada satupun di antara kami yang bersuara. Aku dengan harapanku untuk mendengar jawaban darinya, dan dia dengan sekelumit pikirannya yang entah aku tidak tahu. Tapi yang aku yakin, pertanyaan itu sudah membukakan pintu yang menyakitkan untuknya.
“Pernikahan ini, jangan berharap terlalu banyak padaku.” Deg. Mataku mencari manik karamelnya yang hangat, berusaha menemukan sesuatu yang salah di sana. Tapi tidak ada. Apa ia bersungguh-sungguh?
“Pangeran Mikail, aku tidak bermaksud...” demi tidak pernah mendengar kalimat itu, aku rela jika harus menjadwal ulang pengajuan pertanyaanku soal liontin, jika hal itu sangat berat baginya.
“Hanya jangan berharap terlalu banyak. Aku bersedia menikahimu karena bentuk tanggung jawabku terhadap Kerajaan Anatolia, dan mendiang Ayahku.” Jawabnya. Kali ini menatap mataku. Dadaku sesak, aku ingin lantai di bawah kakiku segera menelanku sekarang juga. Aku hanya ingin jawaban, bukan kalimat semacam ini. Aku pikir selama ini Pangeran Mikail sudah mau menerimaku. Aku pikir Ia sudah mulai luluh. Kupikir... ya, aku berpikir terlalu jauh. Tapi...
“Tapi kau menciumku. Kau... kau dan ciumanmu...” aku bahkan masih mengingat semuanya. Saat ia merawatu, memelukku...
“Aku menciummu bukan berarti aku mencintaimu. Bahkan jika aku menidurimu bukan berarti, bukan berarti karena aku mencintaimu. Oh Ya Tuhan...” menelan ludah, kemudian dia melanjutkan. “aku sudah menceritakan sosok diriku di masa remaja. Aku ingin kau cerdas mengelola informasi itu. Jangan bodoh Carmen. Jangan mau dibodohi.” Lanjutnya.
Kini aku mengerti. Kata-kata Liam waktu itu sedikit demi sedikit mulai berputar seperti kaset rusak di kepalaku. Kenapa dengan mudahnya aku bisa jatuh cinta pada lelaki batu ini? Lelaki yang tak punya hati. Jatuh cinta? Ya Tuhan. Pernikahan ini bahkan sampai sekarang tak berarti apapun baginya. Apalagi yang aku harapkan? Aku tidak sanggup menatap matanya. Aku tahu dia akan tahu bahwa aku menangis jika ia melihat mataku. Atau dia memang sudah tahu? Oh ya Tuhan.
“Autumn. Namanya Autumn Rose. Seseorang yang dimaksud dalam liontin itu.” Ujarnya.
To be continued...
Notes : Kritik dan sarannya monggo yaaa hehe...
KAMU SEDANG MEMBACA
CARMEN
FanfictionAnatolia, sekitar 1934. "...aku tahu diri, siapa diriku dan siapa dirinya (Lord His Highness Zayn Alexander Mikail Davutoğlu). Akupun sepenuhnya tahu tidak pernah terbersit dalam benaknya bahwa Lord His Majesty Yaser Davutoğlu memintanya menikahi se...