CHAPTER 10 : Karena Dia

1.5K 126 17
                                    

Mulmednya di play yaaaa:)



Carmen's POV





Aku tidak percaya akhirnya akan seperti ini. Berlindung di bawah belas kasihan pria yang selalu bersikap dingin padaku.

Sekarang aku mulai mempertanyakan posisiku yang sebenarnya, aku mulai merasa menjadi pelayan adalah posisi yang paling aman bagiku. Pernikahan kami belum satu minggu, dan aku sudah merasa hancur. Aku menebak-nebak apa yang akan terjadi di depan sana.

Hanya Pangeran Mikail yang aku kenal lebih baik dari semua orang yang berada di Manzikert. Aku meringkuk di dalam dekapannya yang hangat, mengalungkan kedua tanganku di lehernya, menunggu sampai ia memaksaku lepas dan aku akan merasa sangat asing di hadapan siapapun, aku tak punya siapa-siapa yang aku kenal.

Ajaibnya dia tak melepaskanku, aku berhutang budi padanya. Dia justru membawaku ke kamar sementara kami, Pangeran menurunkanku dengan lembut di atas matras berbulu yang nyaman. Dengan enggan aku melepaskan tanganku dari lehernya, aku ingin berhenti menangis agar ia tak mengejekku dengan sebutan manja atau lemah tapi nyatanya aku tidak bisa, air mataku terus mengalir. Aku meringkuk seperti bola, merasakan hawa dingin dari angin yang masuk melalui jendela, angin itu menerpa kulit telanjangku. Aku mungkin terlihat seperti mayat hidup yang terkoyak, aku bisa merasakan kawat kecil dari braku menekan bagian bawah payudaraku. Aku merasa nyeri dimana-mana terutama di hatiku, aku sangat kotor. Kejadian tadi benar-benar memalukan.

Pangeran Mikail bergeming, menatapku dengan bibirnya yang menekan garis keras. Ia memejamkan mata dengan ekspresi yang tidak pernah kukenal sebelumnya, bukan ekspresi yang ia gunakan untuk memberi ejekan padaku. Lebih pada rasa lelah, aku tidak pernah melihatnya seperti ini. Ia terlihat frustasi dan marah. Otot di rahangnya mengejang, dan lubang hidungnya mengembang dan mengempis. Kepalanya terdongak ke belakang, entah kenapa melihatnya seperti itu membuatku semakin teriris. Kemudian yang dilakukan olehnya adalah menunduk dan mengelus pipiku, nafasku tertahan di dadaku, menegang. Sentuhan itu rasanya sangat menyakitkan, aku kembali bisa mengingat sentuhan tangan Sheriff di sekujur tubuhku.

"Jangan," Ia berbisik dan menggeleng. Aku tidak dapat menemukan suaraku. Seperti tertahan di kerongkongan. Ia mengusap air mataku, tapi percuma saja, aku tidak dapat menahannya. Aku menang cengeng, tapi untuk berada dalam situasi seperti ini siapa yang akan tahan?

"maafkan aku." Ucapnya lagi. Tidak dingin seperti biasa, kali ini sangat ringan dan begitu dalam. Matanya menatapku, beberapa detik mata kami saling mengunci, namun aku memejamkan mataku, pedih, air mataku lolos lagi. Aku sangat lemah, tanganku berusaha menekan bibirku yang terisak, tapi Pangeran menahannya. Ia kembali menunduk dan mencium keningku. Tangannya membantuku terbebas dari dress tipis yang terkoyak. Bersamaan dengan usahanya membantuku lepas dari gaun, aku bisa merasa jari-jarinya menyentuh kulit telanjangku. Aku gemetar lagi, sangat ingin menutupi kerentaan tubuhku di hadapannya. Dress yang lebih tampak seperti pakaian bekas tak berwujud sudah teronggok di samping tempat tidur. Aku melihat Pangeran Mikail tak berkedip, matanya menaruh banyak sekali rasa simpati dan bersalah, kenapa ia merasa bersalah? Ini bukan salahnya. Kemudian aku menyadari tatapannya mengarah pada bagian dalam pahaku yang memar, dari kulitku yang cerah pastilah memar kemerahan yang menimbulkan bercak keunguan yang cukup dalam itu terlihat sangat jelas. Ia menggertakkan giginya sekali lagi, kemudian naik ke bagian perutku yang rata, di sana terdapat bekas cengkraman yang membentuk garis merah mencetak jari-jari besar. Mataku selalu mengikuti arah tatapannya. Aku tak bisa bergerak, seluruh tubuhku terasa ngilu. Tangan Pangeran Mikail melepaskan kaitan braku, membebaskannya dan membuat nafasku sedikit lega. Kemudian celana dalamku yang tampak sangat lemah bergabung dengan dress dan braku di lantai. Tatapannya menyapu seluruh tubuhku, aku masih mengikuti tatapannya. Aku sangat kotor, dipenuhi memar di sana sini, menandakan betapa lemahnya aku.

CARMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang