Carmen's POV
"Your Highness Mikail sudah berangkat ke pantai Aegae lima belas menit yang lalu dengan heli." Adalah ucapan Senat Ahmet, ekspresinya juga memberitahuku bahwa bukan hanya diriku yang ditinggalkan.
"Dan maaf Your Highness, anda tidak diperbolehkan menyusul." Ucapnya lagi.
Kupikir dengan berangkat tanpa memberitahuku terlebih dahulu saja sudah membuatku kecewa, dan sekarang aku tidak boleh menyusul? Aku mengernyitkan alis pada Senat Ahmet yang hanya dibalas dengan menundukkan kepala, kemudian Ia pamit menghilang dari pandanganku.
Ranselku yang sudah terisi penuh dengan pakaian dan perlengkapan medis seadanya terlepas dari tanganku sendiri. Jatuh tepat di ujung sepatuku. Bukankah ini jadi semakin jelas? Satu jam yang lalu Almira berkata bahwa mantan kekasih Pangeran Mikail biasanya ikut dalam misi seperti ini jika sedang berada di Turki, dan hampir sebulan ini gadis itu memang ada di sini. Hatiku semakin sakit, entah karena kenyataan bahwa gadis itu juga ada di sekitar suamiku atau masih karena aku yang tidak diperbolehkan ikut ke Aegae.
Sebelum semuanya terlambat, aku harus melakukan sesuatu. Diraihlah kembali ransel yang jatuh menimpa kakiku. Aku berjalan terseok mengejar Senat Ahmet."Paman, eh Senat Ahmet." Panggilku dari lorong menuju lantai dasar. Tepat sekali, aku melihatnya sedang mengunci tali dagu dari helmnya. Melihatku otomatis membuatnya hendak melepaskan kembali helm yang sudah terpasang.
"Aku ikut." Tegasku. Senat Ahmet menghela napas. "Your Highness. Kali ini tolonglah aku." Ucapnya lelah, wajahnya adalah sebuah tamparan bagiku karena telah memaksakan hal yang tidak pernah mungkin bisa terjadi. Aku menggeleng.
"Bukankah aku ini juga pemimpin kalian? Aku juga ingin terlibat dalam sejarah."Hal itu cukup benar, terlepas dari alasanku lain yang tidak begitu rasional; cemburu. Aku menghempaskan pikiranku yang satu itu. Apapun yang aku lakukan lebih dari satu bulan yang lalu, sekarang, atau yang akan datang adalah demi Kerajaan dan seluruh rakyatku. Demi tanggung jawabku terhadap amanat dari mendiang Raja Besar. Dia pasti punya alasan yang berarti memilihku menjadi pendamping puteranya.
"tapi ini perintah dari Sang Pangeran, Carmen..." aku mengenal suara Senat Ahmet yang itu. Saat ia memanggilku dengan nama, itu artinya dia sedang membujuk dan berusaha menasihatiku sebagai keponakannya. Aku merasa seperti remaja bandel yang sedang diberikan pengertian oleh pamanku sendiri.
"Tolonglah, Paman." Aku setengah terisak. Mendesaknya agar berubah pikiran. Selama aku bersama Bibi Almas, Paman Ahmet adalah salah satu orang yang menyayangiku. Manik hitamnya terpejam, kupikir Ia sedang berpikir keras. Lantas menggeleng.
"Tidak. Your Highness. Terlalu berbahaya." Jawabannya membuatku kecewa untuk yang kesekian kalinya hari ini. Apa yang harus aku lakukan? Terlintas dalam pikiranku untuk bersujud dan menangis di bawah kakinya.
"Ayo." Ujar Senat Ahmet kepada dua rekannya yang sedang menonton. Mereka sama-sama mengenakan mantel besi, celana panjang, helm, sarung tangan kulit setinggi siku dan sepatu bots yang tinggi. Kemudian mereka berbalik, berjalan cepat menuju pintu besar. Satu-satunya harapanku telah sirna. Oh tidak.
"Paman, tunggu." Aku berlari. Berdiri di hadapannya. Merentangkan kedua tangan dengan dalih agar tidak ada yang masuk ke dalam kereta tanpa aku.
"Jika aku tidak diperbolehkan ikut lantas apa gunanya aku? Apa kalian pikir mendiang Raja Besar Yaser Davutoglu menginginkan seorang gadis manja yang tak berguna diperistri anaknya? Aku tidak ingin jadi orang seperti itu" ujarku ngos-ngosan. Ketiganya saling bertukar pandang.
"Tidak begitu, Carmen. Tidak ada yang menganggapmu seperti itu. Ini hanya misi yang berbahaya. Selain karena hasil test wabah itu yang belum jelas juga karena disana adalah wilayah yang rawan perang."
KAMU SEDANG MEMBACA
CARMEN
FanfictionAnatolia, sekitar 1934. "...aku tahu diri, siapa diriku dan siapa dirinya (Lord His Highness Zayn Alexander Mikail Davutoğlu). Akupun sepenuhnya tahu tidak pernah terbersit dalam benaknya bahwa Lord His Majesty Yaser Davutoğlu memintanya menikahi se...