LARGAS || 24

1.2K 90 5
                                    

24

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

24. Pesan tak terduga

.
.
.

Jika aku sudah tidak berada di sini, jangan menangisiku. Karena aku sudah tenang di sana.


***

Sebuah senyuman tercetak indah di bibir manis itu, kini dia telah menyelesaikan sekolah menenengah atasnya, dia juga senang karena seratus persen murid kelas XII lulus. Kini mereka tengah berkumpul di aula merayakan hari kelulusan mereka, rasa sedih dan bahagia bercampur aduk. Kini mereka semua akan berpisah untuk mencapai masa depan masing-masing.

Brenda tersenyum sendu saat melihat Derai tengah menulis sesuatu di baju seragam Largas, bahkan sesekali ia mendengar suara tawa bahagia dari kedua remaja itu. Hubungan Largas dan Derai pernah menjadi topik paling hangat di SMA Kejora karena Derai dan Largas begitu dekat, bahkan ada yang mendengar dari teman Largas, bahwa Largas dan Derai telah resmi berpacaran dua bulan lalu.

Perempuan itu menepi ke pinggir lapangan, bahkan baju seragamnya masih bersih, sedari tadi tidak ada yang mengajak Brenda untuk bergabung. Brenda memakluminya, karena dia sadar diri, mengingat waktu dulu dia bersifat seenaknya kepada mereka.

Setelah mendaratkan bokongnya di kursi kayu bawah pohon, Brenda memandang lurus ke arah mereka, suara tawa semakin menggema di indra pendengarannya. Brenda ikut tersenyum, dia ikut bahagia. "Bren ayok gabung!" seru Jihan tidak jauh dari sana, baju seragamnya telah penuh dengan coretan.

Brenda melempar senyum ke arah Jihan, dia tidak berniat ke sana, karena yang lainnya terlihat kesal saat Jihan mengajaknya untuk bergabung, karena tatapan tidak suka itu. Brenda memilih beranjak dari kursi, kaki jenjangnya ia langkahkan memasuki area gedung sekolah. Setelah memasuki kelas, Brenda segera mengambil tas kemudian ke luar lagi dari kelas.

Dia menaiki tangga satu persatu, niatnya akan pergi ke rooftop. Mungkin di sana perasaannya akan menjadi lebih tenang, sekaligus dia akan menunggu acara selesai, lalu pulang. Brenda duduk  bersila di teras rooftop, ia mendongak ke atas melihat birunya langit.

"Kayak gini ya rasanya ada, tapi gak dianggap," kekeh Brenda lalu mengusap sudur mata yang dudah berair, dengan ujung baju. Semakin ke sini, kehidupannya semakin tidak berarti. Dia tidak tahu harus bagaiman, rasanya sangat melelahkan. Ingin menyerah saja.

"Masih ada yang nganggep lo, Bren," kata Jenan dari belakang,  masih ingat dengan mantan ketua osis itu?

Brenda tidak menoleh sama sekali, dia tetap diam. Tatapannya kembali lurus ke depan, sampai dia mencium wangi farpum Jenan yang sudah duduk di sampingnya. "Jangan kayak gini, ini bukan Brenda yang gue kenal dulu," kata Jenan mengusap surai panjang Brenda.

Brenda menanggapinya dengan kekehan pela. "Brenda yang dulu udah gaada."

"Lo kenapa?" tanya Jenan sangat bingung dengan tingkah Brenda yang akhir-akhir ini sangat berbeda.

"Sakit," lirih Brenda tiak bisa menahan air matanya lagi.

"Sakit apa? Ayo kita ke rumah sakit." Jenan segera meraih tangan Brenda untuk menariknya, agar Brenda ikut berdiri. Brenda segera menggeleng, lalu melepaskan tangannya dari genggaman tangan Jenan. Diusapnya air mata yang berada di pipinya itu.

"Batin gue yang sakit, Nan. Bukan fisik," ujar Brenda serak. Jenan langsung mengerti, dia mengusap punggung Brenda lembut berbiat memberikan ketenangan.

"Gue gak tau apa yang terjadi sama lo, Bren. Tetep semangat ya, hidup emang kayak gini, akan ada saatnya kita bahagia dan akan ada saatnya kita sakit, kehidupan gak akan selalu lurus, Bren."

"Tapi gue capek," cicit Brenda sesenggukan, Jenan segera memeluk perempuan yang terlihat rapuh itu. Mendapat pelukan hangat dari Jenan, Brenda semakin menangis kencang. Dia menumpahkan segalanya pada tangisan, terdengar memilukan di telinga Jenan.

"Apa karena Largas jadian sama Derai," tebak Jenan dan Brenda segera menggeleng cepat, walau ada benarnya juga. Tapi masalahnya bukan hanya itu, kini Brenda telah hancur, masa depannya juga telah hancur akibat pria bajingan bernama Mike.

"Bukan cuma itu, banyak Nan." Jenan melepaskan pelukan mereka, kemudian menangkup pipi Brenda. Jenan menatap dalam mata lecoklatan Brenda.

"Jangan nyerah ya, gue percaya lo bisa lewatin ini semua," kata Jenan lalu mengecup lama kening Brenda, tidak  bisa bohong memang, Jenan masih mencintai Brenda sampai sekarang. Apalagi mendengar Brebda putus dengan Largas, Jenan semakin senang.

"Baju lo masih bersih, sini biar gue yang coret." Brenda mengangguk saja, Jenan terlihat mengeluarkan sepidol permanen  dari saku celana, kemudian menyuruh Brenda untuk memunggunginya. Pesan-pesan manis Jenan tulis di di sana, setelah selesai Jenan kembali menyuruh Brenda untuk menghadapnya.

"Giliran lo dong, biar seimbang," tutur Jenan memberikan spidol itu pada Brenda, Brenda tertawa pelan kemudian menyuruh Liam untuk memunggunginya, kenudian Brenda menulis sebuah pesan tak terduga.

"Udah."

"Makasih, Bren," kata Jenan kemudian mereka kembali terdiam sambil menatap lurus ke depan, teriknya matahari, membuat langit semakin terlihat biru.

"Liat langit, Bren. Apa pernah langit biru terus? Enggak 'kan? Langit juga kadang mendung, sama kayak kita, kadang bahagia kadang sedih dan sakit. Jadi nikmatin aja."

Di atas, itu pesan yang di tulis Brenda di seragam Jenan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di atas, itu pesan yang di tulis Brenda di seragam Jenan.

See you next part.

LARGAS [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang