"Mari Bercerai" ucapnya pelan
Entah sudah berapa kali ia mengucapkan kata itu. Aku tau dia lelah, tapi aku pun lelah. Kucium dahinya dan kupeluk tubuhnya.
"Ya Mari berpisah" ucapku ku memeluknya erat sambil menangis.
Sekarang aku mendengar tangisnya. Tangisan wanita yang sangat tercinta. Kali ini saja aku sangat lelah.
10 Tahun pernikahan yang kujalani denganya sedang masa ambang.
"Berpisahlah denganku, jika itu adalah impianmu"
#
Kejadaian 3 tahun lalu seketika melintas dalam benakku.
Sekarang aku duduk di teras rumah Eri dengan sebotol minuman.
"Kau akan kemana lagi sekarang?" tanya Eri
"Entahlah mungkin Panama" Ujarku santai
"Kau tak ingin bertemu dengannya? sekarang ia sedang berkencan dengan seseorang" ucap Eri memberikan informasi yang ia tahu
Aku sekilas melihat ke arahnya dan meneguk minumanku kembali. Eri menatapku dan aku hanya menampilkan senyuman kecil.
"Jika itu yang membuatnya senang aku harus apa" ujarku
"Kau bisa kembali padanya. Aku tau kalian saling mencintai, Menjalani pacaran selama 5 tahun dan menikah selama 10 tahun bukan waktu sebentar. Aku mengenalmu Jack Kau tak pernah mencintai seseorang sedalam kau mencintainya"
Aku tertawa mendengarnya "Semoga rumah tanggamu nanti tak seberuk punyaku" ucapku beranjak pergi.
Belum sempat aku meninggalkan Teras Eri mengatakan sesuatu "Aku tau kau beum bercerai dengannya"
Aku mengehla napas mendengarnya "Ya dan tidak bisa aku jelaskan"
#
Semenjak berpisah aku memutuskan hidup di beda kota. Kali ini aku memutuskan hidup ke beberapa kota atau bahkan negara. Dari mana aku bisa hidup adalah dengan mengambil beberapa pekerjaan dengan upah yang lumayan bagiku.
Aku memutuskan keluar dari perusahan tempatku berkeja dulu. Melepaskan posisiku sebagai manajer adalah keputusan yang tolol bagi oarang-orang.
Tapi aku perlu menjalani hidup.
____
Other SIde POV
Aku duduk di pinggiran kasur sambil terus menatap cincin yang sebelumnya aku pakai. Sebuah tulisan Love and Always terukir di dalam cincin dengan cantik.
Sudah 3 tahun aku berpisah dengan suamiku. Aku tau ini semua salahku, aku terus memaksanya menceriakan aku dan aku mendapatkannya saat ia berkata 'ya mari berpisah'.
Rasanya sungguh menyakitkan, sangat menyakitkan.
Sebuah dering telepon berbunyi. Aku menatap layar Handphone ku dan mengakatnya denga tenang.
"Halo An" Ucap suara di sebrang sana
"Hey Eri, ada apa?"
"Kau tau Jack mampir kerumahku hari ini"
"Benarkah? Apa dia mengatakan sesuatu?"
"Tidak, Kami hanya mengobrol santai"
Terjadi keheningan dalam percakapan di telepon itu. Tapi aku tau Eri mendengar isak tangisku.
"Hey apakah aku perlu mengatur pertemuan makan malam dengan Jack untukmu?'
"Tidak perlu, aku tau Jack. Ia sedang tidak ingin menemuiku" ucapku terpatah-patah