Strong Woman

1.2K 81 0
                                    

Detingan piring dan sendok yang bersahutan di meja makan membuat meja makan terasa kaku. Tak ada satupun suara atau kata yang keluar dari mulut kedua orang yang sedang makan malam ini.

Hingga salah satu diantara mereka mencoba membuka obrolan. Walaupun sebenarnya mengobrol saat sedang makan bukanlah hal yang sopan untuk dilakukan.

"Kau taukan setiap orang memiliki emosi dan menurut para ahli psikologi sebaiknya emosi di keluarkan sebagai bentuk penghilang stress dalam diri seseorang. So jika aku perlu mengeluarkan emosi sebaiknya aku melakukanya dengan marah atau menangis?" Tanyanya sambil menatapku dengan wajah bertanya

"Marah?” celetukku ragu

"So kalo begitu aku akan mengelurkan emosiku dalam bentuk marah, tapi aku berharap kamu tidak meyela” ucapnya

Setelah makan malam, ia membereskn meja makan dan sekarang kami sedang duduk santai di ruang tamu.
"Baiklah aku akan memulainya”

Dan semua emosi ia sampaikan

"Nah aku kira sudah semua hal yang perlu kukeluarkan” jelasnya setelah mengeluarkan emosinya.

Darah seolah tidak ada dalam tubuhku saat ini dan aku merasa kaku.

Nada bicara yang ia gunakan bagai seorang polisi yang sedang menilang. Bagaimnaa aku menjelaskannya secara detil. Suaranya sedikit kencang dan menekan seolah aku bukan berhadapan dengan istriku sendiri. Dan semua itu membuatku sangat tegang.

Sekarang ia mendekat kearahku dan mengecup pipiku sambil mengatakan
"Aku mencintaimu”

Perempuan yang ada dihadapanku sekarang memang istriku yang telah kunikahi 5 bulan yang lalu. Sifatnya yang baru ku ketahui setelah menikah.

Dia tipikal orang yang sedikit nyblak, agresif, pemalu, dan gila. Tapi itu semua yang aku sukai darinya.

Memang sebelumnya kami telah menjalin hubungan selama 4 tahun lebih. Kami bertemu di pesta pernikahan teman kami. Kami pun dikenalkan dan menjadi pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Akhirnya aku bulat untuk memutuskan untuk menikah dengannya.

"Lain kali aku akan memilih kau untuk menangis” ucapku jujur

"Kenapa?”

"Aku terlau kaget saat pertama kali kau marah, aku tak pernah mendengarmu marah hingga seperti ini." ucapku mengusap rambut ikalnya.

"Sebenarnya mengeluarkan emosi dengan menangis lebih bagus karena menangis akan membuat seseorang terasa puas setelahnya" jelasnya

"Terus kenapa memilih marah bukannya menangis?"

"Karena semua keinginan istri harus di tanyakan pada suami. Karena kau memilih aku marah ya sudah" penjelasan polos yang terucap dari bibirnya

"Kamu bisa aja bales omongan aku" Ucapku sambil menyentuh dagunya dengan gemas.

____

4 bulan setelahnya aku mendapatkan hal yang menyedihkan.

Buah hati yang tidak kami ketahui ada dan selalu kami tunggu kedatangannya, harus pergi. Hal itu disebabkan karena Tia yang kelelahan.

Teringat ketika aku meminta pada Tia tentang mengeluarkan emosi dan aku memilih untuk ia mengeluarkan emosi dengan menangis.

Sepertinya Tuhan mendengar ucapanku. Tanpa perlu mengeluarkan emosi, kami terus menangis entah aku atau Tia yang terkadang menangis.

Seharusnya aku menjawab bahwa aku tak akan membuatnya marah atau menangis. Seharunya aku membahagiakannya sama seperti janjiku diawal pernikahan kami.

Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menangis.

Aku merasa gagal menjadi pria, suami ataupun seorang ayah. Aku tidak bisa menjadi laki-laki yang diandalkan. Tentu saja aku menangis tidak dihadapan Tia.

Hal itu membuat Tia semakin drop. Aku tau Tia selalu menangis, ketika malam hari ia terbangun dan ia akan keluar kamar. Ia menangis di kamar tamu. Aku tau itu.

Penyakit Gangguan obsesif kompulsif atau bisa disingkat dengan OCD yang kembali muncul pada Tia.

Tia memang memiliki OCD semenjak masa kuliah dulu. Tapi Tia sudah sering melakukan terapi. Hal itu memang sedikit menekan OCD yang dimiliki Tia. Tapi tanpa Tia sadari penyakit OCD telah kembali menganggu kehidupan sehari-harinya.

"Sayang, aku memiliki beberapa foto orang untuk di jadikan sebagai asisten rumah tangga. Tolong kamu pilih 2" jelasku setelah 3 minggu kondisi kami sedikit membaik

"Buat apa? aku masih bisa kok buat ngurusin kamu, bersih-bersih, atau pun masak" ucap Tia

"Sayang bukankan aku janji diawal pernikahan kita bahwa aku akan membuatmu bahagia. Aku tak ingin kau bertanya padaku lagi tentang mengeluarkan emosi dalam bentuk menangis atau marah. Aku ingin kau memilih dan kau bisa tenang melakukan terapi" jelasku panjang lebar

"Terapi?"

"Iya kata ibu kamu selalu melakukan terapi untuk OCD. Tapi hampir melupakan hal itu karena selalu sibuk dengan pekerjaan rumah dan persiapan menikah waktu itu. Hingga akhir-akhir ini kau kelelahan"

"Apa karena penyakitku kita tidak jadi memiliki anak?" Ucap Tia menunduk sedih

"Semua sudah direncanakan oleh tuhan. Termasuk kehadiranya yang sebentar. Kita lakukan terapi yah untuk kita berdua. Aku tak ingin mendengarmu menangis di kamar tamu sendirian. Hal itu sangat menyakitkan"

"Kau tau?"

"Aku selalu mengetahui semua tentang mu sayang. Aku tak berani mendekatimu karena aku tau kamu butuh ruang"

Akhirnya Tia setuju untuk terapi dan memperkerjakan 2 asisten rumah tangga. Kriteria yang ia pilih 'sedikit lebih tua' mereka hanya akan bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore. Sisanya mereka akan tinggal di sebelah kiri rumah yang dibuat khusus untuk asisten rumah tangga.

Memasak hanya akan menjadi tanggung jawab Tia, kecuali ketika ia sedang malas. Ia akan meminta asisten rumah tangga yang memasak.

Pekerjaan asisten rumah tangga akan selalu di perhatikan oleh Tia. Walaupun aku ingin menyuruh Tia untuk beristirahat saja, tapi Tia tetaplah Tia. Aku hanya bisa pasrah, yang penting Tia tidak kelelahan.

Yang paling di tunggu pun datang. Kehamilan kedua Tia adalah hal yang sangat membahagiakan dan itu terjadi saat 1 tahun pernikahan kami.

Semenjak itu kami merasa diliputi kebahagian. Walaupun pertengakaran kecil dalam rumah tangga pasti terjadi termasuk pernikahanku dengan Tia.

Pertengakaran kecil baik sarapan, pilihan pada anak kami, atau hal kecil apa pun.

Psst... Sebagai informasi aku pernah menanyakan pada sahabata Tia. tentang cara marahnya.

Sahabatn6a bercerita Fia tidak pernah marah tapi kalo kesal mereka tau. Sekali ia pernah marah satu kelas di kampusnya langsung diam dan tak ada yang berani menanyakan sesuatu padanya.

Jadi kalian tau bukan bahwa marahnya seorang Tia sangat menyeramkan. Bahkan sahabatnya pun takut setelah ia marah.

Rasanya aku perlu mempersiapkan diri akan sifat Tia yang selalu mengejutkan.

Tapi aku akan selalu pasrah bahwa aku akan mencintainya selalu. My lovely wife Tia.

...THE END...

One Shoot CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang