Aku tidak mengerti apa masalahmu sampai tega menuduhku berselingkuh. Kami hanya teman biasa, dia datang karena aku memesan sesuatu darinya, itu tidak seburuk pikiranmu, Mas!”
Shanum mulai membentak Sabda karena amarahnya sudah tak bisa ditahan lagi. Sejak tadi dia ketakutan melihat pria itu terus memukuli Arsa tanpa ampun. Seolah Shanum sudah kepergok berselingkuh di belakangnya.
Shanum tidak pernah kepikiran untuk berselingkuh di belakang suaminya. Meskipun sebenarnya dia bisa, tapi Shanum bukan wanita yang akan membalas rasa sakit hati dengan cara murahan seperti itu.
“Berhenti menuduhku berselingkuh. Katakan saja mau apa kamu kemari? Kamu mau membuat keributan? Kamu ini gak pernah bosan bikin aku sakit, ya? Setelah apa yang kamu lakukan tempo hari, kamu masih gak puas liat aku menderita?”
Shanum marah, emosinya tersulut. Matanya memerah dan berkaca-kaca, susah payah dia menahan diri untuk tak menangis di hadapan pria yang sudah berkali-kali menghancurkan harga dirinya. Shanum benci Sabda, tapi entah kenapa dia selalu merindukannya.
“Ada hal yang mau kubahas sama kamu, Sha. Ayo kita bicara baik-baik dan selesaikan berdua!” Sabda melepaskan Arsa begitu saja dan mendekati Shanum.
“Jangan menyentuhku!” Shanum mundur beberapa langkah. “Justru kamu yang gak bisa diajak bicara baik-baik sejak tadi, sekarang kamu mau ngajak aku bicara baik-baik? Lebih baik kamu pulang aja, aku gak mau ngomong sama kamu!”
Sabda kembali kehilangan kesempatan untuk bicara dengan Shanum karena pertikaiannya dengan Arsa. Shanum sudah telanjur marah melihat keributan yang terjadi. Wanita itu langsung mengusirnya tanpa memberikan Sabda kesempatan.
“Sha—“
“Tolong, mulai sekarang jangan ganggu aku dulu, Mas. Aku sedang sakit. Jika kamu gak bisa bikin aku tenang, setidaknya tolong jangan nambah rasa sakitku, Mas. Aku lelah menghadapi pernikahan yang rusak ini. Semuanya gak pernah bener buat kita. Atau mungkin benar apa yang mama katakan, sebaiknya kita cerai aja.”
Tangan Sabda mengepal, bukan ini yang dia inginkan. Tujuannya datang ke rumah Shanum tak lebih untuk mengajak wanita itu berdamai, tapi kehadiran Arsa telanjur membuat emosinya tersulut. Untuk ke sekian kalinya Sabda kehilangan kesempatan lagi.
***
“Ibu sering marah, ya?”
“Eh, memangnya kenapa, Dok?”
Pertanyaan dari dokter kandungan itu cukup membuat Shanum salah tingkah. Dia sempat melirik Sinar, menebak jika wanita itu yang menceritakan segala kebiasaannya pada dokter tersebut.
Sinar menggeleng ketika dia merasa ditodong oleh sahabatnya, dia merasa tak mengatakan apa pun pada dokter di depannya. Mengerti maksud tatapan bingung si pasien, dokter tersebut tersenyum.
“Saya bertanya karena tekanan darah ibu cukup tinggi. Dari awal, saya sudah mengatakan pada ibu untuk menjaga emosi dan juga pola makan. Hal itu dikakukan untuk menghindari pre-eklamsia. Ini komplikasi yang berpotensi cukup berbahaya bagi kehamilan. Jika terus dibiarkan bisa bahaya bagi ibu maupun si bayi dalam perut ibu.”
Penjelasan sang dokter membuat Shanum sesak napas. Niatnya pergi ke dokter untuk periksa kehamilan malah mendapat kabar yang kurang baik. Memang benar, selama kehamilan Shanum sulit mengontrol emosi. Hal itu membuatnya sering jatuh sakit dan kelelahan.
Shanum spontan memegang perutnya. Mendengar pernyataan dokter, dia jadi cemas.
“Ciri-ciri selain tekanan darah tinggi, apa lagi, Dok? Saya takut mengalaminya sekarang.”
Dokter hanya tersenyum. Beliau kemudian menjelaskan pada wanita hamil tersebut mengenai gejala yang ditimbulkan.
“Ciri-ciri selain tekanan darah tinggi, juga bisa dilihat ketika si ibu sering mengalami sesak napas, sakit kepala berkepanjangan, berkurangnya volume urine, gangguan penglihatan, mual, dan muntah meski usia kehamilan sudah melewati trisemester pertama, nyeri pada perut bagian atas, pembengkakan pada telapak kaki, pergelangan kaki, wajah, dan tangan.”
Mendengar penjelasan Bu dokter, Shanum kembali menghela napas, beberapa hal yang disebutkan dokter sedang dialaminya saat ini. Shanum jadi benar-benar khawatir.
“Beberapa yang dokter sebutkan, saya sedang mengalaminya saat ini.”
“Maka dari itu, turuti semua saran yang saya berikan. Bila perlu, Ibu jangan melakukan aktivitas apa pun. Karena jika ibu sempat menderita pre-eklamsia, akan menghambat laju pertumbuhan janin dan komplikasi lainnya.
Untuk mengetahui lebih dalam, saya akan melakukan beberapa pemeriksaan. Pertama kita akan USG, habis itu periksa darah, analisis urine, dan NST. NST dilakukan untuk mengukur detak jantung janin saat bergerak dalam kandungan.”
Dokter memberikan saran pada Shanum, wanita itu hanya bisa menuruti semua yang dokter jelaskan.
“Lakukan saja apa yang terbaik menurut dokter.”
Shanum menyanggupi tanpa pikir panjang. Demi bayinya, dia akan melakukan apa pun. Shanum tentu saja tidak mau kehilangan anak yang tengah dikandungnya susah payah dan sudah menemani sang mama dalam keadaan sulit sekali pun.
***
“Setelah ini diam saja, Sha. Jangan mondar-mandir apalagi kelelahan. Kamu bisa minta bantuanku kalau perlu.”
Sinar memulai tausiahnya usai keluar dari ruangan sang dokter. Sahabatnya itu dipapah menuju mobil karena kakinya masih terasa sakit, tapi sebelum itu mereka harus menebus obat terlebih dahulu.
“Aku bosan rebahan terus.”
“Itu demi keponakanku, Sha. Lakukan apa yang dokter suruh.”
Shanum merasa benar-benar tersiksa di kehamilan pertamanya ini. Suami pergi entah ke mana, kondisi kesehatan yang menurun, pre-eklamsia, dan segala hal-hal rumit lainnya benar-benar membuat Shanum kewalahan.
Meski janin dalam perutnya telah memberikan izin untuk beraktivitas seperti biasa, tapi tetap saja ada hal yang tak bisa wanita itu lakukan. Seperti mencium aroma bumbu dapur yang menyengat, parfum, wangi sabun, sampo, dan aroma mencolok lainnya.
Ibunya bilang, anak yang dikandung Shanum pasti laki-laki. Yah, Shanum tidak begitu memikirkan hal tersebut. Harapan Shanum sekarang adalah anak yang tengah dikandungnya lahir dan tumbuh dengan sehat.
Meski tanpa ayah.
“Apa nggak sebaiknya kamu dirawat aja dulu di rumah sakit, Sha?” Sinar mencoba bernegosiasi dengan Shanum.
Dia melakukannya demi kebaikan wanita itu sendiri dan juga bayinya. Namun, ketika melihat penolakan Shanum, wanita itu mengalah. Sebaiknya dia harus menjaga perasaan Shanum demi kesehatan wanita itu juga.
“Aku tidak berselera jika harus menghabiskan waktu di rumah sakit dan hanya rebahan setiap hari. Kita pulang saja.”
Padahal Sinar tidak memaksa Shanum untuk rawat inap, tapi jawaban wanita itu disertai gelegak emosi. Seolah Sinar baru saja berbuat kesalahan.
“Dokter ‘kan Cuma pesan tetap harus bed rest. Nggak boleh capek-capek. Istirahat total, tapi nggak harus baring terus. Perawatan dilakukan seperti keinginan aja. Tapi, tetap harus dijaga dengan baik. Soal makanan dan minuman bernutrisi seperti biasa, katanya kamu juga gak perlu diet ini dan itu.”
Shanum tampak mengeluh di akhir. Bukannya Shanum tidak bersyukur dengan kehamilannya sekarang ini, tapi kondisinya yang mengkhawatirkan membuat Shanum selalu ingin menyerah.
“Nggak usah mikirin berat badan kalo lagi hamil. Jangan lupa minum vitamin, itu harus diminum secara teratur, ya. Eh, darah tinggi biasanya identik dengan garam, ya? Tapi, kata dokter, kamu nggak perlu mengurangi konsumsi garam, kok. Takaran seperti biasa, tapi jangan sampai terlalu asin, dan yang terpenting, tiap minggu harus periksa ke rumah sakit untuk memantau perkembangan kehamilannya. Itu aja.”
Sinar mengulang segala penjelasan dokter dengan lancar. Sama sekali tidak melewatkan satu saran pun, dia pun berupaya mengingatkan Shanum untuk menjaga emosi dan asupan makanan.
“Oh, ya, Sha. Di rumah ada alat tensi darah, nggak? Kalo enggak ada, kita beli sekarang aja, ya? Alat itu nanti bisa digunakan untuk memeriksa tekanan darah kamu setiap harinya.” Sinar menambahkan.
“Tapi—“
Shanum tidak melanjutkan kalimatnya sesaat ketika matanya tidak sengaja tertuju pada sosok yang tidak ingin dia temui. Sosok itu berdiri di lobi rumah sakit dan secara kebetulan balik menatapnya, mereka bertemu. Shanum berusaha untuk menahan rasa sesak di dada.***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Surga yang Terabaikan (END)
RomanceShanum dan Sabda menikah karena keterpaksaan, tak ada cinta di sana. Mereka sepakat untuk tidak bercerai. Namun, Shanum merelakan suaminya untuk berhubungan dengan perempuan lain yang tak lain adalah; Rania. Shanum juga terpaksa mendapatkan tudinga...