Malam sudah larut tetapi Sabda tidak kunjung pulang. Untuk ke sekian kalinya Shanum melihat ke arah jam dinding yang kini menunjukkan pukul sepuluh malam.
Sabda sudah kembali bekerja setelah sembuh dari sakitnya. Shanum sebenarnya ingin mencegah, dia takut Sabda belum kuat. Namun, bukan Sabda namanya kalau tidak keras kepala. Pria itu mengabaikan permintaan istrinya dan kembali pulang larut malam.
Padahal pria itu sudah berjanji akan pulang tepat waktu. Namun, sampai jarum jam menunjuk angka sepuluh, dia belum juga menginjakkan kaki di rumah.
Makanan yang disiapkan Shanum untuk makan malam sudah berubah menjadi dingin. Shanum melirik ponselnya yang disimpan di atas meja, merasa ragu untuk menghubungi Sabda karena pria itu pasti akan mengabaikannya.
Shanum langsung beranjak dari sofa ketika mendengar deru mesin mobil mendekat dan berhenti di halaman rumah. Beberapa saat kemudian, dia melihat Sabda masuk ke dalam dengan jas dan dasi yang sudah dilepas, sementara lengan kemejanya digulung hingga siku dengan dua kancing atas yang dibiarkan terbuka.
Sabda tidak melihat ke arah istrinya, sementara Shanum bersiap-siap dengan ribuan pertanyaan yang ingin dilontarkan pada pria itu.
“Apa ada pekerjaan yang harus kamu kerjakan? Kenapa pulangnya selarut ini?” tanya Shanum berjalan mendekat.
Bukannya menjawab, Sabda justru melewati Shanum dan mengabaikan pertanyaan wanita itu.
“Tadi di jalan macet,” jawabnya singkat.
Shanum tak ingin marah jika Sabda sudah mengeluarkan nada seperti itu, tapi Shanum tidak puas dengan jawaban Sabda yang seolah menganggap sepele kesehatannya.
“Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Pergilah mandi, aku akan menunggumu di meja makan.”
“Aku sudah makan. Kamu makan sendiri saja.”
Shanum berusaha untuk tidak tersulut emosi setelah mendengar ucapan Sabda, dia menghela napas panjang. Shanum sengaja menunggu Sabda pulang supaya mereka bisa makan malam bersama, tetapi sepertinya pria itu memang sudah makan di luar mengingat sekarang sudah sangat larut.
“Kenapa tidak bilang kalau sudah makan di luar?” tanya Shanum tegas.
Sabda menoleh ke arahnya. “Memangnya kenapa? Kamu yang selalu mengeluh capek dengan pekerjaan rumah. Apa salah kalau aku makan di luar?”
Tak mau memperpanjang keributan, Shanum terpaksa memakan semua hidangan itu sendirian, mustahil kalau dibuang. Shanum sudah lelah memasak, dia juga tak mengizinkan para pelayan untuk membantunya. Setelah selesai makan dan mencuci piring kotor, ia kembali ke kamar bersiap-siap untuk tidur.
Shanum mendengar suara langkah kaki mendekat dan melihat Sabda berjalan melewatinya menuju lemari pakaian. Sabda baru selesai mandi karena Shanum melihat rambut pria itu masih basah dengan handuk kecil yang menempel di kepalanya.
“Kenapa? Ada yang ingin kau katakan?” tanya Sabda ketika merasakan tatapan Shanum padanya.
“Tidak,” jawab Shanum, lalu membaringkan tubuhnya di kasur bersiap untuk tidur. Dia benar-benar lelah dan kesal seharian ini.
Sejak Sabda sakit, Shanum tidak tidur dengan cukup. Pria itu terus membuatnya repot dengan berbagai keluhan. Sekarang setelah dirinya sembuh, sifat menyebalkan itu tak kunjung pergi, malah semakin menjadi.
Shanum berniat untuk tidur tanpa memedulikan Sabda yang sibuk sendiri. Tapi, saat Shanum mulai memejamkan mata, ponsel milik Sabda yang berada di atas nakas berbunyi membuat Sabda berjalan mendekat.
“Halo sayang. Ya, aku sudah di rumah.”
Dahi Shanum mengerut mendengar suara lembut Sabda saat menerima telepon. Shanum sudah bisa menebak kalau suaminya sedang menelepon Rania. Apakah wanita itu tidak bisa melihat jam berapa sekarang? Kenapa dia suka sekali mengganggu jam tidur orang lain?
Shanum dapat menebak kalau pria itu akan tidur larut malam karena menghabiskan waktunya untuk mengobrol dengan selingkuhan. Dia selalu berlagak manis kepada wanita lain, tapi wanita berstatus istri di sampingnya malah diabaikan.
Shanum menghela napas panjang beberapa kali untuk meredakan rasa kesalnya yang tiba-tiba meluap. Ia memejamkan mata dan bersiap untuk menyelami alam mimpi setelah berdoa agar besok ada keajaiban dalam kehidupannya. Seperti Sabda musnah dari muka bumi, misalnya.
***
Sabda kembali melihat setelan jas di atas tempat tidurnya begitu dia selesai mandi. Pria itu menghela napas panjang dan melakukan semuanya seperti biasa. Menyimpan jas pilihan Shanum dan memakai jas sesuai keinginannya.
Dia berjalan keluar dari kamar dengan membawa tas kerja dan mendapati Shanum tidak berada di meja makan.
Ada sandwich di atas piring dan segelas kopi yang asapnya masih mengepul. Tumben Shanum tidak memasak hari ini. Biasanya wanita itu akan membuat makanan berat dan memaksa Sabda untuk menghabiskannya sebelum pergi.
Sabda meminum kopinya setelah duduk lalu memakan sandwich buatan Shanum dalam diam. Rasanya tidak buruk, istrinya memang pandai masak.
Sabda tidak juga menemukan Shanum, perempuan itu tidak kembali ke dapur. Biasanya dia akan menemani Sabda sarapan walau harus dihiasi dengan perdebatan kecil. Hubungan mereka lebih dari sekadar suami istri, tapi juga seperti musuh bebuyutan.
Tidak berapa lama, Shanum memasuki dapur. Penampilan gadis itu selalu cantik dan anggun seperti biasa, tapi anehnya Sabda sama sekali tidak menaruh rasa.
Sabda bahkan tidak melirik perempuan itu saat Shanum mendekatinya. Dia merasa tidak ada yang harus dilihat dari Shanum, penampilannya selalu sama setiap hari. Akan tetapi, kali ini berbeda, sang istri dengan sorot dingin tiba-tiba berdiri di depannya.
“Ini apa? Cantik sekali.”
Shanum menunjukkan sebuah benda berkilauan di tangannya, benda tersebut disodorkan ke hadapan Sabda, membuat pria itu refleks merebutnya dari tangan Shanum.
“Apa yang kau lakukan? Kau menemukan ini di mana? Jangan mengacak-acak meja kerjaku sembarangan!”
Sesuai dugaan, Sabda sangat marah pada Shanum. Tangan Shanum memerah karena tarikan kasar dari tangan Sabda. Perempuan itu tak sengaja menemukannya saat sedang membereskan ruang kerja sang suami.
Shanum menemukan sesuatu yang berkilau dan mampu membuatnya membulatkan mata antara tidak percaya dan terkejut di waktu bersamaan. Dia memegang sebuah kalung dengan batu safir hijau dan safir biru yang dibentuk seperti kelopak mawar.
“Shanum, sudah kubilang, jangan mencampuri urusanku!” bentak Sabda kesal.
Tidak salah lagi, kalung yang ada di tangan Sabda adalah salah satu perhiasan di katalog yang pernah Shanum lihat. Harganya pun selangit lebih dari enam belas juta.
Shanum tidak paham kenapa Sabda begitu mudahnya menghamburkan uang jutaan rupiah demi membeli barang yang sedemikian mahal. Sabda selalu melarangnya buang-buang uang untuk barang yang tidak bermanfaat, tapi dirinya malah bebas membeli apa pun tanpa sepengetahuan sang istri.
Shanum tidak berharap apa pun kepada pria itu karena sudah jelas kalung tersebut bukan untuk dirinya. Tanpa Sabda jelaskan, dia tahu kalung bernilai belasan juta itu untuk Rania seorang. Apakah ada wanita lain yang lebih penting selain gadis pelayan kafe itu?
Bukannya menjawab, Shanum mendengkus keras mendengar ucapan Sabda. Dia terkekeh dan melipat kedua tangan di depan dada.
“Kenapa kau sangat terkejut melihatku menemukannya? Memangnya apa yang harus kau sembunyikan dariku? Aku sudah mengetahui semuanya, Mas, tidak ada yang harus kau tutupi.”
Ini pertama kalinya Shanum membalas ucapan Sabda dengan cara seperti ini. Biasanya Shanum hanya mengiyakan apa pun yang dikatakan Sabda soal barang pribadinya karena dia terlalu malas untuk meladeni pria tersebut, tapi kali ini kesabarannya sudah habis dan akhirnya meledak tanpa bisa dia tahan.
Sabda menatap Shanum tajam karena wanita itu sudah berani membalas perkataannya. “Inilah alasanku lebih memilih Rania. Kehadiranmu dalam hidupku adalah hal yang membuatku membencimu. Kau terlalu sering membesarkan masalah, kau pikir aku tak lelah menghadapimu!” bentak Sabda marah. Dia berjalan meninggalkan Shanum yang mematung di tempatnya.
Shanum menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri kemudian duduk di salah satu kursi. Kedua tangannya tanpa sadar mengepal kuat dengan mata terpejam.
Sabda berhasil membuatnya merasakan sakit hati untuk yang ke sekian kali karena ucapan pria itu. Ternyata bukan keajaiban yang dia dapat hari ini, melainkan bencana.
Shanum benar-benar menyesali keputusannya menerima perjodohan. Jika tahu kehidupannya akan begini, Shanum lebih memilih untuk tidak patuh pada kedua orang tuanya daripada harus hidup dengan suami tak berperasaan.
Semuanya mulai menjadi tidak benar untuk dirinya sendiri. Pernikahan yang sebelumnya didambakan mulai terasa palsu. Sejak awal, yang mereka bangun bukanlah rumah tangga, tapi kebohongan dan rahasia.
Shanum pikir menerima Sabda adalah keputusan terbaik dalam hidupnya. Namun, ternyata semua itu salah, Shanum malah terus dihancurkan berkali-kali.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Surga yang Terabaikan (END)
RomanceShanum dan Sabda menikah karena keterpaksaan, tak ada cinta di sana. Mereka sepakat untuk tidak bercerai. Namun, Shanum merelakan suaminya untuk berhubungan dengan perempuan lain yang tak lain adalah; Rania. Shanum juga terpaksa mendapatkan tudinga...