2. Pertengkaran

29.3K 1.2K 30
                                    

"Kalau marah sama pacar kamu, jangan dilampiasin ke aku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau marah sama pacar kamu, jangan dilampiasin ke aku."

Shanum memainkan gelas berisi jus buah di tangannya. Dia melirik sang suami lewat sudut mata. Sabda tampak mengembuskan napas panjang, kemudian meraih gelas dari tangan Shanum. Dia menyesap isinya.

"Ini jus dari buah-buahan yang kubeli waktu itu?"

"Yang mana lagi?"

"Suka nggak?"

Shanum mengernyitkan dahi. Sejak kapan apa yang Shanum suka atau tidak suka jadi penting untuk Sabda? Shanum tidak mengerti, dia pikir suaminya tidak akan pulang malam ini seperti malam-malam sebelumnya.

Sabda melepas jas hitam miliknya. Seluruh tubuhnya pegal seharian ini, ditambah harus menjemput Rania yang notabenenya adalah kekasih Sabda. Lalu Shanum? Dia istri sah, tapi keduanya sama sekali tak saling menginginkan.

Mereka menikah karena perjodohan semata. Meskipun begitu, mereka sepakat untuk tidak bercerai, saling membebaskan satu sama lain. Sejauh ini, hanya Sabda yang membagi hatinya dengan wanita lain, Shanum? Tentu saja tidak.

"Kenapa menatapku begitu? Kamu jangan ikut-ikutan rese. Aku lagi gak minat buat ribut sama kamu. Hari ini aku bener-bener capek."

Bukan hal baru kalau Sabda dan Shanum bertengkar. Empat tahun hidup bersama, hanya pertengkaran dan amarah yang mendominasi rumah tersebut. Tak ada cinta dan kebahagiaan, tapi anehnya, Shanum masih tetap bertahan.

Sabda sempat berpikir kalau Shanum bertahan dengannya karena menginginkan harta semata. Padahal tanpa menikahi Sabda pun, Shanum sudah kaya raya sejak lahir.

Benar, pernikahan itu butuh ilmu. Ilmu untuk memahami, ilmu untuk mengelola ego, ilmu untuk tidak banyak menuntut, tapi bagaimana jika dia yang kamu nikahi enggan untuk berjalan bersamamu?

"Kenapa lagi? Kamu berantem sama dia? Bukankah ini bukan pertama kalinya? Kalo dia ngajak kamu berantem mendadak pasti ada sebabnya."

"Dia nyuruh aku ketemu orang tuanya. Kamu sendiri juga tahu, Sha. Posisiku sekarang gimana, aku cuma belum bisa ngebuktiin aja. Terus kayaknya dia kecewa."

Shanum menganggukkan kepala, seolah mengerti ke mana arah pembicaraan pria itu. Sabda dan Shanum tidak terlihat seperti suami istri, tapi teman yang menumpang hidup.

"Dia bilang, kalau aku gak mau datengin orang tuanya, berarti aku gak peduli sama hubungan ini. Apakah aku peduli atau nggak sama perasaan dia. Coba kamu pikir, ya, kalau aku nggak peduli sama dia, aku nggak akan bertahan satu tahun ini sama dia?"

Sabda bercerita tanpa merasa bersalah ataupun risih. Shanum pun sudah begitu terbiasa mendengar suaminya membahas hubungannya dengan wanita lain.

"Kalau aku jadi dia, sih, sudah dari lama aku buang kamu," kata wanita itu cepat.

"Shanum!"

"Aku mau nyiapin air buat kamu mandi dulu." Shanum memotong ucapan Sabda seraya bangun sofa yang sejak tadi dia tempati. Padahal kalau bisa memilih, lebih baik Shanum bersantai saja ketimbang melayani Sabda.

Dia santai saja melangkah menuju kamar mandi, di sana dia menghidupkan kran air panas dan menampungnya pada bathtub. Hanya sekejap, tidak sampai dua menit, bathtub tersebut sudah terisi oleh air hangat. Tidak lupa Shanum menambahkan busa khusus dan menyalakan lilin aromaterapi.

"Maksud kata-kata kamu tadi apa?" Sabda akhirnya bertanya, pria itu membuntuti istrinya ke kamar mandi.

"Menurutmu apa?"

Sabda tak tahan lagi. Setiap kali berdebat dengan Shanum, wanita itu akan dengan cepat membalikkan ucapannya. Dia sama sekali tak merasa bersalah sudah menyinggung perasaan Sabda.

"Menurutku, wajar kalau dia ngerasa kamu nggak peduli sama perasaannya." Shanum meraih handuk di gantungan khusus dan menyodorkannya pada Sabda. "Kalau kamu peduli sama perasaannya, kamu nggak akan menempatkan dia dalam posisinya yang sekarang."

Sabda tidak menjawab pun tidak menerima uluran handuk Shanum, akhirnya Shanum melipat tangan di dada, memandang dengan sorot mata menusuk.

"Tumben nggak jawab. Baru sadar kalau kata-kataku benar?" Shanum mulai menyudutkan Sabda. "Kamu ngerti nggak, posisinya yang sekarang yang kumaksud tuh apa?"

"Kurasa aku nggak mau ngomongin ini lebih jauh sama kamu."

"Posisi yang kumaksud ya itu, jadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain. Kalau mau diibaratin pake kasta, buat sebagian besar perempuan, dia ada di kasta terendah, kasta paling hina. Sebab mana ada perempuan baik-baik yang pacaran sama suami orang?"

Emosi Sabda jelas tersulut saat Shanum dengan lantang mengatai kekasihnya sebagai orang paling hina. Pria itu jelas tidak terima jika ada orang yang menghina kekasihnya, sekalipun itu istrinya sendiri.

"Kamu jelas tau gimana situasinya buat kita. Semuanya rumit. Makanya kita sepakat soal ini kan? Aku bebas mau jalan sama siapa pun sesukaku, dan kamu juga bebas mau jalan sama siapa pun sesukamu. Selama ini nggak pernah ada masalah. Kenapa sekarang tiba-tiba kamu ikut marah sama aku?" Sabda menaikkan oktaf.

"Dulu memang aku percaya sama kata-kata kamu itu, tapi sekarang, kayaknya tidak lagi masuk akal."

Shanum berdecih, menatap suaminya dengan tatapan tajam. Mansion ini mulai terasa bagai neraka. Sang Nyonya tak lagi merasa betah tinggal di dalam bangunan yang hampir menyerupai penjara, tempat di mana ia mesti menahan diri dan berpura-pura terlihat baik dalam kondisi hati yang berantakan.

Mahira Shanum, nyonya sekaligus istri Sabdatama Dzuhairi Nayaka yang menjadi satu-satunya ratu di mansion itu nyaris ingin melarikan diri. Empat tahun usia pernikahannya sama sekali tidak meninggalkan kesan yang baik. Dia harus menghadapi suatu kerumitan yang mau tidak mau harus dilewati sendirian.

Shanum dan Sabda memang sepakat untuk tidak melibatkan perasaan apa pun. Jangankan memiliki anak, berpelukan saja mereka tak pernah. Sabda begitu menjaga jarak darinya, tidak seperti Rania yang bebas memeluk pria itu kapan saja.

Sebagai seorang istri, sebenarnya Shanum bisa saja membeberkan fakta busuk yang selama ini Sabda lakukan di belakangnya. Namun saat ini, wanita itu memilih untuk diam sejenak sambil menikmati permainan.

"Kamu masih sepengecut itu, karenanya kamu nggak punya cukup keberanian buat memperjuangkan orang yang kamu sayang, nggak punya cukup keberanian untuk nemuin orang tuaku dan orang tuamu, terus bilang kalau selama ini kita nggak pernah hidup dalam rumah tangga yang normal, dan karenanya aku ngerasa lebih baik kalau kita pisah aja."

Sabda meminta Shanum untuk berhenti mempermasalahkan hal ini, sampai kapan pun Sabda tidak akan pernah menceraikan Shanum. Dia juga yakin bahwa wanita itu tidak akan berani mengatakan keretakan rumah tangga mereka pada orang tuanya, tapi Mahira Shanum, tidak semudah itu mengalah untuk sesuatu yang menurutnya tidak adil.

Melihat keterdiaman Sabda. Akhirnya Shanum menghela napas. "Oke, kamu gak mau pisah sama aku, berarti selama ini kamu mulai jatuh cinta padaku. Makanya kamu tidak bisa memaksa dirimu untuk melepaskanku."

Shanum menatap Sabda dengan tatapan mengintimidasi. Empat tahun jelas bukan waktu yang sebentar bagi keduanya membangun rumah tangga. Setidaknya Shanum berharap ada setitik rasa di hati Sabda, meskipun hanya sedikit saja.

Spontan, Sabda langsung terbungkam. Shanum mendekat, kali ini tubuh mereka saling berhadapan.

"Jadi yang mana kemungkinan yang benar, Mas Sabda?"

Surga yang Terabaikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang