21. Bertemu Orang Tua

14.8K 650 30
                                    

“Berapa lama kalian saling mengenal?”
“Satu tahun,” jawab Sabda tanpa harus berpikir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Berapa lama kalian saling mengenal?”

“Satu tahun,” jawab Sabda tanpa harus berpikir. “Sekarang menginjak dua tahun.”

Pria tua itu menarik napas dan tetap saja terasa berat. Ditatapnya Sabda dengan ekspresi penuh kecurigaan. Pria itu tidak lain adalah ayah Rania. Ya, Sabda datang menemui orang tua kekasihnya.

Sepulang dari Bali, Sabda sudah mengatur penerbangan selanjutnya menuju Jakarta untuk menemui ayah Rania. Awalnya, Rania tidak percaya bahwa Sabda benar-benar menepati janjinya untuk menemui sang ayah.

“Jadi, kamu adalah seorang pengusaha?”

Alam—Ayah Rania—masih terus bertanya, tapi suaranya tetap terdengar mantap dan kokoh. Tidak menunjukkan kalau beliau mengintimidasi Sabda, dia ingin pria itu tidak tegang saat berhadapan dengannya. Lagipula Alam tidak akan bertindak gegabah.

Justru jantung Rania yang berdebar. Dia takut sang ayah akan bertanya macam-macam dan menolak Sabda, apalagi melihat raut wajah ayahnya yang penuh keraguan.

Tadinya Rania masih betah berada di Bali. Namun, Sabda sudah mengatakan bahwa sudah saatnya dia menemui orang tua Rania yang saat itu hanya tinggal ayahnya seorang. Rania tidak punya ibu.

Wajar saja kalau Alam sedikit over protektif pada putrinya. Dia hanya ingin Rania tidak salah pilih, tapi melihat siapa pria yang duduk di hadapannya saat ini, tampaknya pilihan Rania sekarang tidak begitu buruk.

“Pantas saja, kamu pasti sibuk belakangan ini, putriku sudah sering cerita bahwa kamu nyaris tak punya waktu untuk berada di rumah,” kata Alam.

“Iya, benar. Om. Sebenarnya tidak banyak juga, hanya saja itu sudah menjadi kewajibanku untuk menyelesaikannya.”

Satu tahun lima bulan. Rania merapal dalam hati. Rasanya sudah selama itu mereka bersama. Rania masih tetap bertahan bersama Sabda.

Bahkan selama itu pula, Sabda berhasil menutup identitasnya rapat-rapat. Beruntung Rania bukan tipe perempuan yang egois dan gampang kepo seperti Shanum, begitu katanya. Semua kenyamanan yang Sabda cari bisa dia temukan dalam diri Rania.

Sabda jelas lebih banyak hidup dalam bayangan Rania dibanding dengan Shanum.

Walaupun ketika Sabda jatuh sakit yang repot merawat pria itu sampai sembuh adalah istrinya sendiri, bukan Rania.

“Bagaimana kehidupan kalian?”

Sebenarnya Sabda malas membahas hal ini, tapi karena tidak mau membuat ayah Rania curiga. Lebih baik Sabda mengalah dan menjawab apa pun yang pria itu tanyakan.

“Seperti halnya pasangan kebanyakan, Om. Kami juga sering ribut karena hal-hal kecil, tapi saya berusaha untuk selalu memahami Rania.”

Rania mulai tertawa pelan hubungan mereka memang sungguh menarik. Perbedaan usia yang cukup jauh juga menjadi penunjang keunikan tersebut. Rania seperti mengencani sugar daddy.

“Papa, ini sudah satu jam lebih, kenapa Papa masih bertanya-tanya ke Mas Sabda terus? Kasihan dia sudah jauh-jauh datang ke sini, harusnya biarkan dia istirahat.”

Alam menghela napas mendengar ucapan putrinya. Wajar kalau Alam bertanya terus, tujuan Sabda datang memang untuk menemuinya, tapi sepertinya Rania benar, setidaknya Alam harus membiarkan pria itu beristirahat sebentar.

Mereka sudah jauh-jauh datang, bahkan membawa banyak buah tangan untuk Alam. Itu pun Rania yang memilihkan, anaknya jelas lebih tahu apa yang ayahnya sukai. Tapi, bukankah tujuan Sabda datang ke rumah Rania memang untuk bertemu ayahnya? Jadi, wajar saja kalau Alam menginterogasi pria itu terus.

“Papa hanya menanyakan hal-hal dasar saja kok, Sabda pasti tidak keberatan dengan pertanyaan papa, iya ‘kan?” Kali ini Alam menatap Sabda lagi.

Sabda mengangguk dan tersenyum, dia tidak keberatan dengan itu. Justru Rania yang tidak enak hati pada kekasihnya karena merasa sedang diinterogasi oleh ayahnya.

“Jangan cemas begitu, Papa tidak akan mengusirnya dari rumah.”

Alam bangkit dari duduknya, membiarkan mereka berdua mengobrol. Sebelum Alam pergi, pria itu berbalik ke arah Rania dan menyahut.

“Nanti malam kita bicarakan ini lagi, pasti Sabda juga ingin mengatakan sesuatu pada Papa.”

Rania dan Sabda mengangguk mendengar hal itu, kemudian Alam pergi dari ruang tengah meninggalkan mereka berdua.

***

Pagi ini suasana di rumah tampak hening. Shanum sebenarnya benci berada dalam situasi ini. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Sabda masih sulit dihubungi sejak kemarin. Ini hari ketiganya terbaring lemah di kasur.

“Sampai kapan aku harus memijat kakimu seperti ini terus, Kak? Bukankah kakak harus minum obat sekarang?”

Suara Khalil bergema, membuat Shanum menarik napas sekejap dan menaikkan bahunya acuh.

Hari ini Shanum menyuruh adiknya datang untuk menjaga Shanum karena dia sendirian di rumah. Tadinya dia ingin meminta ibunya untuk datang. Namun, beliau sedang ada urusan mendesak. Jadi Khalil yang diutus untuk menemani Shanum sementara.

“Nanti. Pijat yang itu, lebih keras lagi!” titahnya seraya menunjuk kaki kiri Shanum dan Khalil dengan malas memijat bagian itu.

“Makanya jangan suka begadang, jadinya sakit, ‘kan? Apalagi Mas Sabda jarang di rumah. Siapa yang merawat? Ah, tapi sekarang aku akan menjaga kakak dengan baik, tenang saja.”

“Ya ampun anak ini. Kamu pasti sedang ada maunya, ya?”

Khalil meringis. “Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku, Kak. Aku tidak mau badanmu yang berisi itu menyusut dalam semalam.”

Khalil menunjuk tangan Shanum yang putih dan gempal, merasa tidak berdosa sama sekali karena secara tidak langsung dia mengatai kakaknya gendut.

Padahal Shanum sudah rajin olahraga dan diet seimbang, kenapa anak itu masih saja mengatainya gendut? Shanum mendesis, dia menyenderkan punggungnya di sandaran ranjang.

“Enak saja, sudah beberapa hari ini kakak sakit, berat badanku sudah turun sampai beberapa kilo, tapi kamu malah mengataiku gendut.”

“Memangnya kakak belum makan apa pun pagi ini?”

Shanum tertawa sumbang. “Gak selera, tapi kakak mau makan ramen pedas dengan es jeruk. Gimana, kamu mau buatkan itu?”

“Makanan apa itu? Orang sakit tidak boleh makan sembarangan. Bagaimana jika kakak ipar marah?!”

“Hei, aku yang sedang sakit kenapa suamiku yang harus marah? Dia sibuk kerja dan aku tidak berselera makan bubur dan makanan lembek lainnya. Aku hanya mau makan makanan pedas.”

Khalil terdiam beberapa saat. Dia sudah kebal menghadapi segala tingkah cerewet kakaknya. Kadang Khalil bersyukur ada pria yang mau menikahi Shanum. Dulu Khalil berpikir tak akan ada pria yang mampu bertahan dengan perempuan cerewet seperti kakaknya.

Kini tatapannya mengarah pada wajah Shanum yang sedikit bengkak dan memerah, dia tahu ada yang tidak beres di sana.

“Kakak habis menangis?”

“Memangnya kenapa kalau aku nangis?”

“Kalau kakak habis menangis, wajahmu jelek sekali seperti—“

Shanum berdecak. “Mulutmu macam tak pernah sekolah saja. Kakak baik-baik saja. Hanya sakit kepala, makanya ekspresiku begini. Nanti juga sembuh lagi, ini semua karena Mas Sabda terlalu sering memberi kejutan.”

“Kejutan? Kejutan apa?” Khalil tampak tertarik dengan itu.

Padahal kejutan yang Shanum maksud bukan sesuatu yang spesial, tapi menyakiti. Sabda membuat pernikahan itu layaknya neraka tanpa jalan keluar. Setiap kali Shanum hendak pergi, Sabda selalu punya ribuan cara untuk menahannya.

Sebenarnya Shanum juga berat jika harus berpisah dengan Sabda. Terlebih dia memikirkan perasaan mama Diana. Sungguh ironis, jika Shanum harus bercerai dalam keadaan masih suci tanpa pernah disentuh.

Mau tahu apa yang lebih menyedihkan daripada tidak kunjung menikah di usia sangat dewasa? Menikah, tapi hidup seperti di neraka.

Tidak mungkin dia mengatakan itu pada Khalil.

Shanum meringis dan menatap sekeliling kamar yang luas. Mencari jawaban atas pertanyaan sang adik.

“Sudah lama, sih. Dia membelikanku mobil baru, dia juga membelikanku tas mahal yang harganya di atas tiga puluh juta,” katanya mengiming-imingi. Lihat saja sekarang mata Khalil seperti hendak keluar dari tempatnya.

“Ah, sial!” keluhnya menggerutu. “Harusnya aku yang menikah dengan kakak ipar!”

Shanum tertawa lepas mendengarnya. Khalil memang penghibur di setiap suasana.

“Tapi, apa karena itu kakak menangis?”

“Tentu saja, kakak sangat terharu. Ngomong-ngomong, kakak sudah punya mobil, bagaimana jika mobil yang satu lagi kakak berikan untukmu?”

“BENARKAH?!”

Pijatannya pada kaki Shanum makin mengencang membuat wanita itu harus menggeplak tangan Khalil karena sakit.

“Mobil yang berwarna merah mengkilap itu?” Khalil tampak berbinar. “Ah, sudahlah. Jangan pikirkan dulu mobil itu. Lebih baik kakak istirahat. Jangan membuatku merasa bersalah. Mulai sekarang berhenti ngasih aku barang mahal. Kelak aku bakal lebih kaya raya dari ayah. Jangan khawatir aku bisa beli mobil lebih bagus dari itu,” cerocos Khalil kalang kabut.

“Ya ampun, adikku sudah dewasa.” Shanum tertawa lagi melihat ekspresi adiknya. Kadang dia bisa menyebalkan dan menyenangkan di waktu bersamaan.

“Memangnya kapan aku tidak dewasa?” tanyanya dengan suara kesal. “Sebaiknya orang sakit jangan banyak menangis dan bekerja, nanti kakak bisa dehidrasi. Kalau sampai kakak berubah jadi jelek, Mas Sabda pasti akan marah.”

“Aku mengerti, adik bungsu.”

Shanum geleng-geleng kepala. Adik laki-lakinya memang cerewet tidak jauh berbeda dengannya.

“Apa kakak sudah menelepon Mas Sabda? Dia masih susah dihubungi?”

“Begitulah, mungkin dia sedang banyak urusan di luar sana. Tidak apa-apa, semoga saja dia cepat mengabari setelah tiga hari ini hilang tanpa kabar.”

Bohong kalau Shanum tidak sedih, suaminya menghilang begitu saja. Shanum cemas pada Sabda, apakah pria itu baik-baik saja?

Ketika sedang asyik bercerita. Suara bel pintu depan membuat keduanya terkejut. Shanum menatap adiknya. Dia menyuruh Khalil untuk memeriksa siapa yang bertamu ke rumah.

“Kan ada bibi pelayan yang membuka pintu, Kak.”

“Mereka sedang sibuk, kamu lihatlah siapa yang datang.”

“Apakah itu Mas Sabda? Kakak ipar cepat sekali pulang. Bukankah dia sedang ada di luar kota?” tanya Khalil seraya bangkit dari duduknya.

Shanum melirik jam dinding. Suaminya tidak mungkin pulang di jam seperti itu. Jadi, siapa yang bertamu?

Khalil membuka pintu rumah dan menyapa siapa tamu yang datang, pemuda itu tersenyum ramah. “Siapa? Ada yang bisa kubantu?”

Sosok yang berada di hadapan Khalil tersenyum penuh wibawa. “Aku mau mengantar kue sekaligus menjenguk Shanum.”


TBC

Hayo, siapa doi? 🤭

Cara sederhana untuk menyemangati author. Cukup vote, komen, dan share ❤️

Surga yang Terabaikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang